27 November 2011

Elastisitas Permintaan Input dan Elastisitas Penawaran Output Bawang Merah Ditinjau Dari Fungsi Produksi

Pendahuluan

Memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJPT II), sektor Pertanian masih menjadi perhatian di samping sektor Industri. Pertanian yang tangguh akan dapat mendukung sektor industri. Dalam sektor pertanian pemerintah telah menetapkan pengembangan berdasarkan skala prioritas. Prioritas pertama ditujukan pada pengembangan tanaman hortikultura yang selama ini diimpor dari luar negeri, seperti bawang putih, bawang bombay, jamur, jeruk, apel, dan anggur. Prioritas kedua adalah pengembangan tanaman ekspor antara lain kubis, kentang, bawang merah, tomat, dan mangga.

Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan salah satu jenis umbi lapis selain bawang putih dan bawang bombay. Bawang merah banyak digunakan sebagai bumbu pelezat makanan dan ramuan obat tradisional. Pada umumnya bawang merah ditanam pada ketinggian 10 sampai 250 m di atas permukaan air laut, meskipun dapat juga ditanam di daerah pegunungan dengan ketinggian 1200 m di atas permukaan air laut.



Masalah yang banyak dihadapi petani bawang merah yaitu fluktuasi harga. Fluktuasi harga disebabkan oleh adanya ketidak-seimbangan antara permintaan dan penawaran juga dipengaruhi oleh jumlah dan harga faktor produksi (input) yang digunakan. Oleh karena itu petani perlu mengetahui harga bawang merah, harga faktor produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya.

Dasar Teori

Faktor produksi dalam suatu proses pertanian dibedakan menjadi faktor produksi tetap dan faktor produksi variabel. Hubungan fisik antara faktor produksi (input) dengan produksi (output) digambarkan dalam bentuk fungsi produksi:

Y = f(x)

di mana Y : produksi (output)
x : faktor produksi (input)



Menurut Hadidarwanto (1983) berdasarkan elastisitas produksinya maka kurva fungsi produksi (gambar 1) dapat dibagi menjadi 3 daerah. Pada daerah I di mana Ep > 1, menunjukkan bahwa PM > PR. Daerah II menunjukkan bahwa PM < PR tetapi masih bernilai positif, sehingga elastisitas produksinya bernilai dari 0 sampai 1 (0 ≤ Ep ≤ 1). Daerah I disebut daerah yang tidak rasional sedangkan daerah II disebut daerah rasional. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar 2.

Pada gambar 2 dapat juga dibuat pembagian daerah seperti pada gambar 1. Daerah I pada saat NPM > NPR dan daerah II pada saat NPM < NPR tetapi masih bernilai positif, sebab

NPM = p. PM
NPR = p. PR

Jika berproduksi pada daerah I petani akan mengalami kerugian, sebab total biaya lebih besar dari total penerimaan (OABX1 > OCDX1). Sebaliknya jika beroperasi pada daerah II petani akan mendapatkan keuntungan sebab total penerimaan lebih besar dari total biaya (OEFX2 > OGHX2)

Pada gambar 2 tepatnya daerah II juga dapat dilihat hubungan antara x (input) dengan MFC tidak lain merupakan harga input. Dengan menambah jumlah input, harga semakin rendah (x2 > x1 dan Px1 < Px2). Hubungan ini sama dengan hubungan antara harga dan jumlah barang yang diminta dalam fungsi permintaan, sehingga kurva NPM merupakan kurva permintaan input.

Fungsi produksi mempunyai sifat dualitas dengan fungsi biaya, sehingga dari fungsi produksi dapat mencerminkan fungsi biaya atau fungsi biaya merupakan fungsi invers dari fungsi produksi. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Fungsi produksi : Y = f(x)

Fungsi biaya : X = v. f^-1(Y)

Dengan diketahui fungsi biaya total dapat diturunkan fungsi biaya marginal yang tidak lain adalah penawaran output. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

π = TR - TC

Syarat keuntungan maksimal adalah turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap output = 0 atau dπ/dy = 0, sehingga akan diperoleh MC=MR=p (harga output). Kondisi ini dapat digambarkan seperti pada gambar 3.



Pada saat harga output P0 jumlah output yang dihasilkan sebesar Y0. Jika harga naik sebesar P2 maka output yang diproduksi meningkat lagi sebesar Y2. Kurva MC di atas AC pada terjadi keuntungan yang maksimal merupakan fungsi penawaran sebab dengan naiknya harga output, jumlah barang yang ditawarkan meningkat.

HIPOTESIS

1. Diduga penggunaan faktor produksi bawang merah belum efisien.
2. Diduga permintaan input akibat adanya perubahan harga output bersifat elastis.
3. Diduga penawaran output akibat adanya perubahan harga input bersifat tidak elastis.

METODE ANALISIS

Penelitian dilakukan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul dengan sampel petani sejumlah 60.

1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan faktor produksi terhadap bawang merah digunakan model analisis fungsi produksi Cobb-Douglass

Y = a Xi^bi

di mana, Y: Produksi bawang merah Xi (1,2,3, ...11) : faktor produksi lahan, bibit, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pupuk ZA, insektisida, fungisida, perekat, Tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga.

Untuk melihat efisiensi penggunaan faktor produksi, menggunakan perbandingan Nilai Produksi Marginal (NPMxi) dengan harga input (pxi) atau NPMxi/Pxi.

Apabila NPMxi/Pxi = 1 maka penggunaan input dikatakan efisien.

NPMxi/Pxi > 1 maka penggunaan input dikatakan tidak efisien.

2. Untuk menentukan fungsi permintaan dengan mendiferensialkan fungsi keuntungan. Sedangkan elastisitas permintaan input akibat adanya perubahan harga output dapat dirumuskan dengan

Ex = dx/dPy - Py/x
=-1/(b-1)

3. Fungsi penawaran turunan dari fungsi biaya, di mana fungsi biaya adalah fungsi invers dari fungsi produksi. Elastisitas penawaran output akibat adanya perubahan harga input dapat dirumuskan dengan:

Ey = dy/dPx - Px/y
=-b/(1-b)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi bawang merah adalah lahan, perekat, dan tenaga kerja luar keluarga  pada tingkat signifikansi sebesar 10 persen. Sedangkan faktor produksi bibit, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCI, pupuk ZA, insektisida, fungisida, dan tenaga kerja luar keluarga, mempunyai kecenderungan dalam mempengaruhi produksi bawang merah yaitu bisa meningkatkan ataupun menurunkan produksi bawang merah. Koefisien determinasi sebesar 87,27 persen. Ini berarti keragaman produksi bawang merah dapat dijelaskan oleh kesebelas perubah (faktor produksi) tersebut. Sedangkan 12,73 persen dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam model (tabel1).

Keadaan seperti ini dikarenakan adanya kelemahan penelitian yang antara lain adalah kondisi petani sampel yang sangat homogen baik tingkat umurnya, tingkat pendidikannya, maupun tingkat keterampilannya. Sehingga menyebabkan dalam hal menjawab pertanyaan tidak seperti yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan biasnya data yang dinalisis.

Dilihat dari efisiensi penggunaan faktor produksi usaha tani bawang merah ternyata faktor produksi lahan, perekat, dan tenaga kerja luar keluarga tidak efisien (tabel 2). Untuk lahan penggunaannya masih perlu ditingkatkan yaitu dengan pengolahan yang lebih baik lagi. Di samping itu upaya yang perlu dilakukan agar faktor produksi lahan menjadi efisien yaitu dengan penambahan luas areal mengingat pemilikan lahan petani untuk usaha tani bawang merah relatif sempit. Meskipun penambahan luas lahan ini cukup sulit, karena lahan dalam jangka pendek merupakan input tetap. Akan tetapi ini bisa dilakukan dengan menyewa.

Fungsi perekat usaha tani bawang merah adalah sebagai pencampur insektisida tertentu sehingga dapat berfungsi lebih baik. Penggunaan perekat pada usaha tani bawang merah masih terlalu berlebihan sehingga menjadi tidak efisien dan perlu dikurangi.

Penggunaan tenaga kerja luar keluarga oleh petani sampel masih terlalu berlebihan. Dalam kenyataan penggunaan tenaga kerja pada usaha tani bawang merah cukup banyak. Akan tetapi dengan pemilikan lahan relatif sempit menyebabkan penggunaan tenaga kerja menjadi tidak efisien. Untuk mengurangi biaya usaha tani bawang merah khususnya penggunaan tenaga kerja oleh anggota keluarga petani hendaknya tidak diupahkan.

 Elastisitas permintaan input akibat adanya perubahan harga output sebesar 78,128 (elastis) artinya setiap ada kenaikan harga bawang merah sebesar 1% maka permintaan terhadap input naik sebesar 78,218 persen ceteris paribus. Sedangkan elastisitas penawaran output akibat adanya perubahan harga input sebesar -77,125 (tidak elastis) artinya setiap ada kenaikan harga input (faktor produksi) sebesar 1 persen maka penawaran bawang merah akan turun sebesar 77,125 persen ceteris paribus.

Nilai elastisitas permintaan input maupun elastisitas penawaran output tersebut ternyata terlalu besar. Hal ini dikarenakan perhitungan elastisitas tersebut merupakan turunan dari fungsi produksi tidak secara empirik. Sehingga kesalahan dalam menentukan parameter pada fungsi produksi akan berpengaruh terhadap perhitungan elastisitas permintaan maupun penawaran. Keadaan sangat berkaitan dalam penelitian ini, yang mana penggunaan faktor produksinya tidak efisien. Dengan penggunaan input yang tidak efisien, apabila ada perubahan harga input (faktor produksi) maupun harga output (bawang merah) maka petani akan merubah penggunaan faktor produksi dalam jumlah yang cukup besar.

KESIMPULAN

Terbatas pada penelitian yang dilakukan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penggunaan faktor produksi lahan, perekat, dan tenaga kerja luar keluarga pada usaha tani bawang merah belum dilakukan secara efisien.

2. Elastisitas permintaan input akibat adanya perubahan harga output sebesar 78,128 (elastis).

3. Elastisitas penawaran output akibat adanya perubahan harga input sebesar -77,125 (tidak elastis).

SARAN

Melihat kondisi Desa Srigading yang sangat potensial untuk usaha tani bawang merah, maka perlu banyak upaya yang dilakukan seperti mengaktifkan kegiatan penyuluhan, supaya produksi bawang merah dapat seoptimal mungkin. Dengan demikian,  penggunaan faktor produksi bawang merah bisa lebih efisien dan nilai elastisitas permintaan input maupun elastisitas penawaran output tidak terlalu besar.

Sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/419669.pdf
Penulis: Nur Rahmawati dan Eni Istiyanti (Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).

 Analisis:

Harga bawang merah berfluktuasi selain karena tidak seimbangnya permintaan dan penawaran namun juga karena jumlah dan harga faktor produksi (input) yang digunakan. Jurnal ini meneliti pengaruh penggunaan faktor produksi terhadap produksi bawang merah menggunakan model analisis fungsi produksi Cobb-Douglass. Hasilnya adalah faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi bawang merah adalah lahan, perekat, dan tenaga kerja luar keluarga  pada tingkat signifikansi sebesar 10 persen. Disarankan oleh peneliti untuk perlu banyak upaya yang dilakukan seperti mengaktifkan kegiatan penyuluhan, supaya produksi bawang merah dapat seoptimal mungkin. Dengan demikian,  penggunaan faktor produksi bawang merah bisa lebih efisien dan nilai elastisitas permintaan input maupun elastisitas penawaran output tidak terlalu besar.

07 November 2011

Potensi dan Kendala Budidaya Bawang Merah

 


Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk didalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan GATT, WTO, AFTA, APEC dan organisasi perdagangan dunia lainnya, satu sisi memberi peluang terhadap sektor pertanian di Indonesia, jika agribisnis yang dilakukan memiliki daya saing, sisi lain merupakan ancaman terhadap komoditas pertanian jika tidak memiliki daya saing. Daya saing dapat dilihat dari keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan beragam jenis hasil bumi yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai ladang usaha. Mulai dari produk pertanian sampai produk hortikultura, semuanya memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sehingga banyak masyarakat yang membudidayakan berbagai produk pertanian dan hortikultura sebagai potensi bisnis yang cukup menjanjikan.

Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah Bawang merah (allium ascalonicum). Banyaknya manfaat yang dapat diambil dari bawang merah dan tingginya nilai ekonomi yang dimiliki sayuran ini, membuat para petani di berbagai daerah tertarik membudidayakannya untuk mendapatkan keuntungan besar dari potensi bisnis tersebut.

Komoditas bawang merah dipandang lebih siap memasuki era pasar bebas dibanding komoditas pangan lainnya. Karena memiliki kemandirian dan campur tangan pemerintah terhadap harga produksi relatif kecil. Komoditas bawang merah dipandang sebagai sumber pertumbuhan baru untuk dikembangkan dalam system agribisnis, karena mempunyai keterkaitan yang kuat baik ke sektor industri hulu pertanian (up stream agriculture) maupun keterkaitan ke hilir (on farm agriculture), yang mampu menciptakan nilai tambah produksi dan menyerap tenaga kerja melalui aktivitas pertanian sekunder (down stream agriculture). Di sisi yang lain, bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki fluktuasi dan sensitivitas harga yang cukup tinggi, terutama karena perubahan permintaan dan penawaran.

Kabupaten
Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah di Jawa Tengah yang memiliki potensi wilayah kondusif bagi pengembangan bawang merah. Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki dalam hal potensi wilayah dan tenaga kerja diharapkan mampu meningkatkan daya saing komoditas bawang merah.

Budidaya bawang merah memang memberikan keuntungan cukup besar bagi para petaninya. Mengingat saat ini kebutuhan pasar akan bawang merah semakin meningkat tajam, seiring dengan meningkatnya jumlah pelaku bisnis makanan yang tersebar di berbagai daerah. Kondisi ini terjadi karena bawang merah sering dimanfaatkan masyarakat untuk bahan baku pembuatan bumbu masakan, dan menjadi bahan utama dalam proses produksi bawang goreng yang sering digunakan sebagai pelengkap berbagai menu kuliner.

Hal inilah yang mendorong para petani di daerah Jawa Tengah (khususnya Brebes), Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara (terutama di pulau Samosir), Bali, Lombok, Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan beberapa daerah lainnya untuk memilih budidaya bawang merah.


Meskipun keuntungan yang diperoleh dari budidaya bawang merah cukup tinggi, namun sampai sekarang para petani belum bisa membudidayakan bawang dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Karena para petani masih sangat tergantung dengan bantuan sinar matahari untuk proses budidaya dan proses pengeringan bawang merah pada saat pasca panen. Tentu keadaan ini sering merugikan para petani bawang merah, sebab persediaan produk yang tidak stabil menyebabkan harganya mengalami fluktuasi (naik di saat musim kemarau dan turun drastis di musim panen).

Sulit dipungkiri bahwa sejauh ini sebagian besar petani bawang merah belum mampu mengendalikan harga jual yang kadang melambung tinggi dan di lain waktu justru melorot hingga harga terendah. Kalau dikaji lebih jauh, fluktuasi harga bawang merah tersebut sesungguhnya sebagai dampak ulah para tengkulak yang selama ini menguasai jalur distribusi perdagangan komoditas tersebut. Tidak jarang para tengkulak membohongi para petani dengan menyebutkan bahwa stok bawang merah di pasaran demikian banyak sehingga mereka tidak berminat membeli bawang merah dalam jumlah yang besar. Dalam kondisi seperti ini, petani bawang merah jelas sangat terpojok. Kalau bawangnya dibiarkan tidak dijual dalam jangka waktu lama, maka dikhawatirkan akan membusuk. Selain itu, karena bertani dengan modal yang terbatas, mereka berharap hasil panen bawang merah segera terjual untuk menutupi kebutuhan. Akhirnya meskipun dengan harga jual yang murah, mereka terpaksa menjualnya kepada tengkulak.

Untuk mencegah kerugian tersebut, maka diperlukan upaya untuk dapat membudidayakan bawang merah sepanjang tahun. Misalnya dengan budidaya di luar musim, dan menggunakan bantuan mesin tepat guna untuk membantu pengeringan hasil bawang merah. Dengan begitu, diharapkan produksi dan harga bawang merah dipasaran bisa terus stabil sesuai dengan permintaan pasar yang terus meningkat.

Dari uraian di atas, setidaknya dapat ditarik benang merah yang berkaitan dengan seringnya terjadi fluktuasi bawang merah sebagai komoditi unggulan masyarakat. Pertama, ketergantungan masyarakat terhadap bawang tidaklah selalu menguntungkan. Karena ketika harga bawang merah jatuh, kondisi ekonomi masyarakatnya pun secara otomatis akan terpengaruh.

Kedua, selama ini sebagian masyarakat baru menguasai masalah penanamannya saja. Sedangkan masalah distribusi, pengolahan pasca panen serta inovasi-inovasi lainnya termasuk menyangkut keseriusan masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjadikan bawang merah sebagai komuditas unggulan yang dioptimalkan belum banyak yang berpikir ke arah tersebut.

Dalam hal ini mengacu pada berbagai permasalahan di atas, setidaknya terdapat tiga hal yang harus segera dibenahi berkaitan dengan keadaan petani bawang merah. Pertama, political will dari pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk tetap menjaga eksistensi bawang merah yang selama ini dikenal sebagai komoditi unggulan dengan mengoptimalkan potensi kompetitif dengan seperangkat regulasi yang medukung kebijakan tersebut. Kedua, sistem pemasaran yang selama ini cenderung masih tradisionalis dan merugikan petani hendaknya secara bertahap diubah ke arah yang lebih menguntungkan petani dengan cara melakukan inovasi-inovasi untuk mendapatkan nilai plus di pasaran, semisal membrandingkan bawang merah khas masing-masing daerah dan mengklasifikasikannya menurut jenis dan kualitasnya. Hal ini dimaksudkan untuk menambah daya tawar di pasaran. Ketiga, hendaknya dilakukan pembinaan SDM secara terarah dan terpadu.

Pada akhirnya, semua faktor di atas tidak akan berhasil tanpa adanya keberpihakan pemerintah daerah terhadap nasib petani. Bagaimanapun keterbatasan pola pikir petani
saat ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mencarikan jalan keluarnya. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana upaya kita untuk membantu kehidupan para petani bawang merah tersebut agar benar-benar menikmati hasil keringatnya secara optimal.

Sumber:

 

04 November 2011

Price Ceiling dan Price Floor

Bagaimana Price ceiling mempengaruhi pasar.






Gambar di atas menunjukkan kasus di mana pemerintah menetapkan harga maksimum di bawah harga keseimbangan, sehingga price ceiling mengikat pasar. Kekuatan penawaran dan permintaan cenderung menggerakkan harga menuju harga keseimbangan, tapi ketika harga pasar tertahan ceiling, harga tidak dapat naik lebih jauh. Sehingga, harga pasar sama dengan price ceiling. Pada harga ini, jumlah barang yang diminta melebihi jumlah yang ditawarkan. Terjadi shortage pada barang, sehingga sebagian orang yang ingin membeli barang pada harga yang terjadi tidak dapat melakukan pembelian.

Bagaimana Price floor mempengaruhi pasar.




Gambar di atas menunjukkan apa yang terjadi ketika pemerintah menerapkan price floor. Dalam kasus ini, karena harga keseimbangan di bawah floor, price floor mengikat pasar. Kekuatan penawaran dan permintaan cenderung menggerakkan harga menuju harga keseimbangan, tapi ketika harga pasar tertahan floor, harga tidak dapat turun lebih jauh. Sehingga, harga pasar sama dengan price floor. Pada harga ini, jumlah barang yang ditawarkan melebihi jumlah yang diminta. Sebagian orang yang ingin menjual barang pada harga yang terjadi tidak dapat melakukan penjualan. Jadi, price floor mengakibatkan surplus.

Pergeseran Kurva Penawaran

Kita ambil contoh barang dalam hal ini adalah pensil. Kurva penawaran menunjukkan seberapa banyak produsen pensil menawarkan barang dagangannya dalam suatu harga tertentu. Faktor-faktor selain harga yang mempengaruhi keputusan produsen untuk menjual seberapa banyak dianggap tetap. Hubungan ini dapat berubah seiring waktu, yang direpresentasikan oleh pergeseran dari kurva penawaran. Contoh, misalkan harga kayu jatuh. Karena kayu adalah bahan baku dari pensil, maka kejatuhan harga kayu membuat menjual pensil menjadi lebih menguntungkan. Ini meningkatkan penawaran pensil: Pada suatu harga yang terjadi, penjual kini lebih ingin memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak. Sehingga, kurva penawaran bergeser ke kanan.


Gambar di atas mengilustrasikan pergeseran dari penawaran. Setiap perubahan yang meningkatkan jumlah yang ditawarkan pada tiap tingkat harga, seperti misalnya turunnya harga kayu, menggeser kurva penawaran ke kanan dan ini disebut peningkatan penawaran. Sebaliknya, setiap perubahan yang mengurangi jumlah barang yang ditawarkan pada suatu tingkat harga menggeser kurva penawaran ke kiri dan ini disebut penurunan penawaran.

Terdapat banyak variabel yang dapat menggeser kurva penawaran. Di antaranya adalah:

1. Harga Input. Untuk memproduksi pensil, penjual menggunakan berbagai macam input: kayu, karbon, mesin untuk membuat pensil, tenaga kerja, dll. Ketika harga dari satu atau lebih input ini naik, memproduksi pensil menjadi kurang menguntungkan, dan perusahaan menawarkan lebih sedikit pensil. Jika harga input naik tinggi sekali, perusahaan mungkin akan tutup dan tidak menawarkan pensil sama sekali. Kesimpulannya, penawaran dari suatu barang berhubungan negatif dengan harga dari input yang digunakan untuk membuat barang.

2. Teknologi. Teknologi untuk mengubah input menjadi pensil adalah penentu lainnya dari penawaran. Penemuan dari mesin pembuat pensil yang telah termekanisasi, contohnya, mengurangi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat pensil. Dengan mengurangi biaya perusahaan, perkembangan teknologi meningkatkan penawaran pensil.

3. Ekspektasi. Jumlah pensil yang perusahaan tawarkan hari ini mungkin tergantung pada ekspektasi dari masa depan. Contohnya, jika perusahaan berharap harga pensil akan naik di masa depan, perusahaan akan menyimpan produksinya sekarang ke dalam gudang dan akan menawarkan lebih sedikit ke pasar pada hari ini.

4. Jumlah Penjual. Penawaran di pasar tergantung pada semua faktor yang mempengaruhi penawaran dari penjual individu, seperti harga input yang digunakan untuk memproduksi barang, teknologi yang tersedia, dan ekspektasi. Satu hal lagi, penawaran dalam pasar tergantung dari jumlah penjual. Jika salah satu penjual pensil keluar dari bisnis pensil, penawaran dalam pasar akan turun.

22 October 2011

Tugas 4 (Globalisasi)

Tugas Mata Kuliah Teori Ekonomi 1 - Bapak Dr. Prihantoro


Definisi Globalisasi
Syaikh Fathi Muhammad Salim, seorang ulama dan pemikir terkemuka, telah menganalisis secara mendalam macam-macam definisi globalisasi dalam kitabnya Al-’Aulamah (globalisasi). Judul bukunya menggambarkan substansi pemahamannya yang akurat dan presisi terhadap globalisasi. Bukunya secara lengkap berjudul Al-’Aulamah Hiya Adah Ar-Ra`sumaliyah al-Haditsah li As-Saitharah ‘Ala Al-’Alam, yang berarti : globalisasi adalah alat kapitalisme modern untuk menguasai dunia.

Syaikh Salim pertama-tama mendeskripsikan realitas globalisasi dengan cermat dengan menyatakan, “Pengertian globalisasi ringkasnya adalah : suatu proses memudarnya tapal batas antar negara-negara baik secara ekonomi, budaya, ideologi, maupun sosial, serta kondisi dunia global yang menjadi bagaikan kampung kecil di hadapan hegemoni kapitalisme, dengan sistem ekonominya yang penuh dengan keburukan, kezaliman, kerakusan, dan eksploitasi, juga sistem pemikirannya yang destruktif terhadap berbagai ideologi, moral, dan nilai lain.” (Fathi Salim, Al-’Aulamah, hlm. 2).

Globalisasi adalah suatu ungkapan yang berarti penyatuan (integrasi) dan penundukan perekonomian lokal ke dalam perekonomian dunia, dengan cara memaksakan penerapan format ekonomi swasta ke dalam struktur  perekonomian dunia, serta menjadikan ekspor setiap negara ditujukan untuk pasar dunia, selain untuk pasar regional.

Semua ini mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang, dan jasa. Jadi pasar dan perekonomian dunia itu tentu bukanlah perekonomian yang tertutup atau terproteksi, melainkan perekonomian terbuka, atau apa yang disebut dengan pasar yang terbuka terhadap segala kekuatan ekonomi.

Sejarah Globalisasi
Istilah globalisasi pertama kali mengemuka pada bulan Nopember 1992 di majalah Criminal Politics Magazine terbitan Amerika di bawah rubrik Globalology.  Majalah tersebut mempublikasikan sebuah artikel berjudul The Carrol Qui- gley-Clinton Connection (Hubungan Presiden Clinton dengan Profesor Carrol Quigley). Profesor ini dulu adalah dosen Clinton di Universitas Georgetown, yang mengasuh beberapa mata kuliah mengenai ekonomi-strategis pada salah satu program pasca sarjana universitas. Tulisan itu menyebutkan, Profesor Quigley pernah mengizinkan Clinton untuk “mengintip” kebijakan-kebijakan yang bersifat rahasia, serta meminta Clinton untuk mempelajarinya dan ikut serta mempersiapkan kajan-kajian yang dapat menguntungkan pemerintah Amerika. Clinton terus melakukan kajian dan persiapannya selama 20 tahun, dan akhirnya berhasil menelorkan ide-ide ekonomi yang berhubungan dengan Tata Dunia Baru. Sejak awal dia telah meletakkan asas-asas kajian dan penelitiannya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya,”Tidaklah mudah menciptakan tata aturan dunia yang didasarkan pada dominasi perekonomian internasional sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, bank-bank sentral di berbagai negara harus dimanfaatkan sesuai dengan perjanjian-perjanjian rahasia yang ditetapkan dalam berbagai pertemuan, perundingan, dan konferensi.”
 
Ide-ide tersebut terkristalisasi dengan sempurna dan mulai muncul ke permukaan pada awal dasawarsa 90-an. Ide-ide  tersebut semakin matang dengan runtuhnya Uni Soviet, berakhirnya masa komunisme, dan keluarnya sosialisme dari medan internasional. Ini mengharuskan adanya introduksi dan perencanaan strategi ekonomi dalam skala luas untuk melemahkan dan kemudian menghancurkan sisa-sisa sosialisme secara total, untuk kemudian digantikan dengan persepsi-persepsi kapitalis, termasuk ide globalisasi, ekonomi pasar, dan perdagangan bebas, sebagai ide-ide yang diklaim paling aktual dan paling relevan dengan abad ke-21.

Semua ini membutuhkan perwujudan ide globalisasi dan perekrutan tokoh-tokohnya. Maka, muncullah istilah globalisasi, dan Clinton-lah yang menjadi perintisnya mengingat istilah ini muncul berbarengan dengan awal masa pemerintahannya.

Unsur-Unsur Pendukung Globalisasi 

1. Swastanisasi 
Swastanisasi adalah pengubahan sektor publik menjadi sektor sektor pribadi (swasta). Alasan untuk menjustifikasi swastanisasi ialah kurang efisiennya sektor publik, produktivitasnya yang rendah, dan kinerja pengelolanya yang payah.  

2. Korporatisme 
Korporatisme adalah pandangan bahwa negara merupakan sekumpulan lembaga (korporasi/institusi/badan) dan pemerintah tiada lain adalah satu lembaga ekonomi kecil, kalau pun bukan yang terkecil. Pemerintah merupakan lembaga yang tugasnya hanya melaksanakan kegiatan diplomasi, dengan angkatan bersenjata yang kecil serta beberapa lembaga keamanan dan dewan penasihat, yang semuanya bergerak untuk melayani kepentingan sektor swasta. Jika pemerintah hendak menjalankan suatu usaha bisnis, maka dia wajib diperlakukan sama dengan lembaga mana pun yang lain. Jadi pemerintah  diperlakukan sama dengan swasta. Contoh tentang hal ini, adalah lembaga Forum yang dikelola oleh 40 ribu ahli  yang menyusun program dan memperhitungkan segala potensi Amerika, yang diperkirakan akan melampaui negara mana pun.
Dari sinilah, maka segala sesuatunya harus disesuaikan dengan paham korporatisme, yaitu bahwa pemerintah adalah salah satu lembaga negara yang khusus dan tugas utamanya adalah menjalankan kekuasaan. Pemerintah menjalankan kekuasaan tapi tidak menguasai/memiliki. Sementara lembaga-lembaga lain menguasai tapi tidak menjalankan kekuasaan. 

3. Perusahaan-Perusahaan 
Perusahaan-perusahaan merupakan lembaga ekonomi utama yang menguasai ekonomi secara nyata. Kini terdapat ribuan perusahaan di dunia –di antaranya ada 200 perusahaan raksasa– yang mendominasi sebagian besar perekonomian dunia. Dari jumlah itu ada 172 perusahaan yang dimiliki lima negara, yaitu Amerika, Jepang, Perancis, Jerman, dan Inggris. Pemerintah masing-masing membantu perusahaan-perusahaan ini untuk menembus dan menguasai perekonomian internasional. 


4. Bank-Bank 
Bank merupakan penyokong perusahaan –terutama perusahaan raksasa– dan merupakan sekutu perusahaan untuk menguasai perekonomian negara-negara lemah. Di samping itu, bank itu sendiri sebenarnya juga suatu perusahaan.   


5. Pasar-Pasar Modal 
Pasar-pasar modal ini berupa pasar-pasar saham, surat berharga, dan mata uang. Pasar-pasar ini menjadi alat kriminal para investor raksasa untuk meraup keuntungan besar tanpa usaha nyata dan tanpa investasi yang riil. Kegiatan perekonomiannya adalah sektor ekonomi non-riil, yang bertumpu pada kompetisi tidak-seimbang yang mirip dengan perjudian, undian, dan penipuan.
Pasar-pasar modal ini sangat penting untuk mengglobalkan perekonomian regional. Bukti-bukti untuk hal ini antara lain pernyataan Clinton pada KTT Vancouver (Kanada) untuk negara-negara anggota APEC,  “Sesungguhnya prioritas kita adalah memperkokoh pasar-pasar modal di Asia.”  Sementara itu Hashimoto, PM Jepang, menyifati peran Amerika tersebut sebagai pengkerdilan Asia dan sekaligus promosi globalisasi. Mahathir Mohamad, PM Malaysia, menyatakan, “Negeri mana pun yang mendapatkan bantuan IMF, dapat dipastikan akan membuka pasar modalnya.”  Untuk membantu Korea Selatan mengatasi krisis-krisisnya belakangan ini, IMF telah mensyarat- kan pembukaan pasar-pasar surat berharga terhadap persaingan pihak asing.


6. Perdagangan Bebas  
Perdagangan bebas merupakan salam satu asas ekonomi pasar dan salah satu landasan globalisasi. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah memaksakan syarat bagi negara- negara di dunia yang hendak menjadi anggota WTO, agar membuka pasar-pasarnya terhadap barang-barang asing. Sejumlah 21 negara telah mengikuti KTT Vancouver (Kanada) mengenai perdagangan bebas terhadap 9 jenis komoditas baru. Topik ini sudah dianggap wajar dalam KTT itu, sehingga tak ada satu negara pun yang dapat menolaknya. Inilah yang membuat Amerika dan negara-negara industri lainnya mampu mendominasi perdagangan internasional dan dapat melemahkan daya saing negara-negara yang kecil.

7.   Pemaksaan Ide-Ide dan Nilai-Nilai Peradaban Kapitalisme Kepada Seluruh Dunia 
    Pemaksaan ini terjadi tatkala negara-negara Barat mensyaratkan penerimaan demokrasi terhadap negara-negara di dunia baik secara total maupun tidak. Tetapi akhir-akhir ini Amerika telah mulai memaksakan pengambilan sekumpulan ide-ide tertentu sebagai syarat mendasar untuk memasuki era globalisasi. Ide-ide tersebut antara lain adalah sekularisme, rasionalisme, kesepahaman/perdamaian antar bangsa, kebebasan, pembatasan kelahiran, pluralisme, supremasi hukum, pengembangan masyarakat sipil (civil society), perubahan kurikulum pendidikan, penyelesaian pengangguran dan inflasi dengan cara tertentu, dan sebagainya. Semua ide ini tak lain adalah nilai dan gaya hidup peradaban Barat yang dianggap sebagai budaya/kultur luhur yang baru, serta dipandang lebih unggul daripada semua ideologi dan peradaban. Inilah penafsiran terhadap beberapa pernyataan para penguasa di banyak negara-negara lemah –seperti Dunia Islam– yang berfokus pada ide-ide tersebut dan propaganda-propagandanya. Yang terakhir adalah pernyataan Presiden Iran Khatami mengenai kehidupan harmonis antar bangsa dan persahabatan antara Iran dan Amerika, serta mengenai pemantapan supremasi hukum dan penumbuhan masyarakat sipil (civil society).

8.   Pemantapan Ide-Ide Separatisme dan Pemecahbelahan Negara 
    Hal ini nampak tatkala Amerika berupaya menyelesaikan masalah-masalah separatisme dan melakukan campur tangan untuk memecah-belah sebuah negara menjadi dua negara atau lebih jika memungkinkan, seperti yang sudah terjadi di Bosnia, Irak, Sudan, Afghanistan, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk membuat kekacauan nasional, pertentangan antar suku, dan kelumpuhan kawasan, yang semuanya merupakan alasan- alasan kuat  untuk menerima globalisasi Amerika sebagai suatu kekuatan yang tak dapat ditolak lagi. Globalisasi akhirnya dianggap sebagai kereta api cepat untuk memasuki abad mendatang. Barang siapa yang tidak menaikinya, maka dia akan terisolir, terpinggirkan, atau akan menjadi hina dina dan mengalami kehancuran.

Bahaya Globalisasi
    Banyak ahli ekonomi –termasuk yang di Barat sendiri– telah memahami bahaya globalisasi atas dunia dan telah menyimpulkan satu hal yang mereka sepakati, yaitu penerapan globalisasi akan semakin memperlebar jurang pemisah antara yang miskin dengan yang kaya. Abid Al Jabiri –seorang ahli ekonomi Maroko– pada salah satu konferensi tentang globalisasi menyatakan bahwa globalisasi mempunyai tiga segi negatif :

1.  Semakin lebarnya kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin secara berlebihan, sehingga kehidupan modern di setiap negeri akan diwarnai dengan dikotomi miskin-kaya dan ketidak-solidan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

2.  Semakin lebarnya jurang pemisah antara anak-anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin, yang akan melahirkan generasi yang terbelah menjadi dua golongan dengan dunianya sendiri-sendiri.

3.  Merintangi dan melenyapkan kreativitas manusia dalam kegiatan perdagangan dan usaha, serta mengokohkan prinsip menghalalkan segala cara.

Respon terhadap Globalisasi
Respon terhadap globalisasi hendaknya memenuhi paling tidak 3 (tiga) kriteria berikut :

Pertama, hendaknya ada kritik yang memadai terhadap globalisasi;
Kedua, hendaknya ada solusi alternatif yang memadai, yaitu suatu kondisi ideal yang diharapkan;
Ketiga, hendaknya ada peta jalan (road map) yang jelas, berupa strategi yang dapat ditempuh untuk mengubah kondisi yang ada menuju kondisi ideal.

   Itulah tiga kriteria yang kiranya dapat menjadi standar umum untuk menilai sejauh mana keseriusan kita untuk menentang globalisasi. Setiap respon, perlawanan, atau penentangan terhadap globalisasi, baik oleh individu, kelompok, atau negara yang tidak memenuhi tiga kriteria di atas, dapat dianggap cacat atau gagal. 

Sumber:
http://www.jurnal-ekonomi.org/globalisasi-kemiskinan-dan-agama-respon-hizbut-tahrir/
http://www.jurnal-ekonomi.org/globalisasi-skenario-mutakhir-kapitalisme/

Tugas 3 (Circular Flow)

Tugas Mata Kuliah Teori Ekonomi 1 - Bapak Dr. Prihantoro





Model circular flow ini menjelaskan operasi dari ekonomi dan hubungan antara sektor-sektor utama dalam ekonomi. Model ini didasari dari pembagian ekonomi menjadi lima sektor. Sebuah sektor dapat didefinisikan sebagai bagian dari ekonomi di mana sebagai pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi yang berjenis sama.

1. Masyarakat
2. Produsen
3. Bank
4. Pemerintah
5. Perdagangan Internasional

Masyarakat
-Sektor ini terdiri dari semua individu dalam ekonomi.
-Individu-individu ini adalah pemilik dari sumber daya produktif, dan konsumen dalam ekonomi.
-Masyarakat menyediakan faktor-faktor produksi (input) seperti tenaga kerja dan kewirausahaan kepada produsen, yang kemudian mereka gunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Sebagai imbalan dari menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja dan kewirausahaan kepada produsen, masyarakat menerima pendapatan -- sewa, upah, bunga, dan profit.

Produsen
-Sektor ini terdiri dari semua perusahaan yang terlibat dalam produksi dan distribusi dari barang dan jasa.
-Segala aktivitas mereka terkait dengan membeli faktor-faktor produksi dan menggunakannya untuk memproduksi dan menjual barang dan jasa.
-Masyarakat dan produsen saling membutuhkan.

Bank
-Sektor ini terdiri dari semua institusi yang terlibat dalam meminjamkan uang, berperan sebagai perantara antara mereka yang menabung, dan peminjam dari uang.
-Bank dibutuhkan oleh masyarakat dan perusahaan untuk menangani tabungan dan investasi. Mereka melakukan fungsi mobilisasi tabungan ke investasi.
-Tabungan: leakage; Investasi: injection.

Pemerintah
-Terlibat dalam pemenuhan kebutuhan kolektif.
-Mendapatkan sumber dayanya untuk melakukan ini dengan mengenakan pajak kepada sektor-sektor lainnya dari ekonomi.
-Menggunakan pendapatan pajak ini untuk menangani berbagai pengeluaran pemerintah.

Terdapat dua penggunaan pendapatan yang tidak digunakan langsung untuk pembelian barang dan jasa. Mereka adalah net taxes, yang mengalir ke pemerintah daripada ke pasar produk, dan tabungan, yang mengalir ke bank daripada ke pasar produk. Dua penggunaan dana ini disebut leakages dari circular flow. Karena tabungan didefinisikan sebagai pendapatan apapun yang disisakan setelah rumah tangga membeli barang dan jasa dan membayar pajak netto, konsumsi ditambah dua leakages selalu menghasilkan pendapatan domestik.

Kedua, terdapat dua macam pengeluaran, yang dinamakan investasi dan belanja pemerintah, yang mana tidak datang langsung dari rumah tangga. Ini disebut injections ke dalam circular flow. Karena investasi termasuk investasi persediaan yang tidak direncanakan, total pengeluaran yang direalisasikan -- konsumsi ditambah injections -- selalu sama dengan pendapatan domestik.

Salah satu cara di mana pemerintah dapat mempengaruhi circular flow adalah melalui belanja barang dan jasa. Dimulai dari keadaan ekuilibrium, pengurangan dalam belanja pemerintah akan mengarah kepada penumpukan persediaan yang tidak direncanakan oleh perusahaan yang pemerintah secara tak terkira berhenti membelinya. Dengan demikian, volume dari circular flow akan jatuh dalam bentuk riil dan nominal.

Pajak memberi pemerintah cara kedua dari mengontrol circular flow. Jika tingkat pajak meningkat, rumah tangga akan mempunyai pendapatan setelah pajak yang lebih kecil untuk membeli barang konsumsi. Ini pun akan mengurangi permintaan agregat dan menyebabkan penumpukan persediaan yang tidak direncanakan. Sebagai respon, perusahaan akan mengurangi output, harga, atau keduanya, sehingga mengurangi volume circular flow.

Pemerintah mempunyai cara ketiga, secara tidak langsung untuk mengatur volume dari circular flow, dengan pengaruhnya terhadap jumlah uang beredar. Bank Sentral dapat mengambil tindakan yang dapat mempengaruhi jumlah uang beredar dalam ekonomi. Tindakan Bank Sentral mengatur uang yang beredar dalam ekonomi mempunyai dampak tidak langsung, termasuk dampak pada tingkat suku bunga dan pasar uang. Jika kebijakan moneter memudahkan ketersediaan pinjaman dan menurunkan tingkat suku bunga, perusahaan akan didorong untuk meningkatkan tingkat pengeluaran investasi mereka. Ini akan menyebabkan circular flow berkembang.

21 October 2011

Kelangkaan Barang dan Jasa dan Bagaimana Ilmu Ekonomi Mengelolanya

Tugas Mata Kuliah Teori Ekonomi 1 - Bapak Dr. Prihantoro

Kelangkaan adalah masalah dasar ekonomi di mana manusia yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang tak terbatas di dunia yang memiliki keterbatasan sumber daya. Dinyatakan bahwa masyarakat memiliki sumber daya produktif yang tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan manusia. Dengan kata lain, kelangkaan menyiratkan bahwa tidak semua tujuan masyarakat dapat dipenuhi dalam waktu yang sama; trade-off dibuat untuk sebuah barang dengan barang yang lainnya.

Barang dan jasa yang langka disebut barang ekonomi. Barang lainnya disebut barang bebas jika mereka diinginkan tetapi keberadaan mereka amat melimpah sehingga menjadikan mereka tidak langka, seperti misalnya udara dan air laut.

Ilmu Ekonomi mempelajari bagaimana masyarakat melakukan alokasi dari sumber-sumber daya ini -- dan juga bagaimana masyarakat seringkali gagal untuk mendapatkan optimalitas sehingga menjadi tidak efisien. Jelasnya, kelangkaan adalah keinginan tak terbatas kita terbentur dengan terbatasnya sumber daya.

Kelangkaan dikelola dengan membuat pilihan mengenai nilai sehingga tiap individu dapat saling menukarkan sumber daya dalam sistem perdagangan. Dalam kondisi ideal, sistem harga akan menyesuaikan, sehingga menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan.

19 April 2011

Realitas Kemakmuran di Indonesia

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


Tingkat Kemakmuran di Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makmur adalah banyaknya hasil, atau banyaknya penduduk dan sejahtera, dan atau serba kecukupan, tidak kekurangan, sedangkan kemakmuran berarti keadaan makmur. Kondisi suatu negara bisa dikatakan makmur apabila tidak ada atau jarangnya permasalahan secara kolektif muncul bergejolak, baik pada ekonominya, kondisi sosial dan politiknya, dan lain sebagainya, bahkan kondisi prestasi pada bidang-bidang tersebut justru cenderung meningkat, maka negara yang mengalami kondisi tersebut dapat dikatakan makmur.

Indonesia sebagai sebuah negara dapat terlihat tingkat kemakmuran ekonominya, setidaknya dengan melihat pertumbuhan dan pemerataan kekayaan perekonomian rakyatnya.

1.      Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 mencapai 4,5 %, membuat pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2009 naik menjadi Rp 24,3 juta (US$ 2.590,1) dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya sebesar Rp 21,7 juta, demikian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut menurut Deputi Neraca dan Bidang Analisis Statistik.[1]

Pada era orde baru, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada tahun 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, Rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah juga menerapkan sistem anggaran berimbang. Namun banyak dari anggaran pembangunan justru dibiayai melalui bantuan asing/hutang. Pada pertengahan tahu 1980-an pemerintah mengambil langkah yang ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. Sehingga GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.[2]

Berbeda dengan pertumbuhan ekonomi orde baru dan era reformasi, pertumbuhan ekonomi di era orde lama tidak sempat diperhatikan oleh sebab bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang cukup signifikan. Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadinya hiper inflasi yang mencapai lebih dari 500% pada akhir tahun 1965.[3]




2.      Kemerataan Distribusi Pendapatan
Koefisien gini adalah salah satu alat untuk melihat kemerataan distribusi ekonomi suatu negara, suatu distribusi pendapatan dikatakan semakin merata jika nilai koefisien gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai koefisien gininya makin mendekati satu.[4]

Dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), memperlihatkan bahwa pada tahun 1965–1970 menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 2,7% dengan koefisien gini sebesar 0,35. Berikutnya pada tahun 1971–1980 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% dengan koefisien gini sebesar 0,4; pada tahun 1981–1990 pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4% dengan koefisien gini sebesar 0,3. Adapun koefisien gini tahun 1998 sebesar 0,32; tahun 1999 sebesar 0,33; pada tahun 2002 sebesar 0,33, tahun 2004 sebesar 0,32; tahun 2006 sebesar 0,36; serta tahun 2007 sebesar 0,37. [5]

Selain itu, penelitian di beberapa provinsi di Indonesia tahun 1990-2005 yang menggunakan metode Data Panel yaitu secara Cross Section dan Time Series, serta dengan menggunakan analisis FEM (Fixed Effect Method), menunjukkan hasil bahwa memang terjadi ketimpangan distribusi pendapatan pada tingkat antar provinsi-provinsi di Indonesia, yang meningkat seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi. Sehingga, pada awal tahun 1990 bentuk kurva U-inverted Kuznet terjadi di Indonesia.[6]

Memperhatikan data di atas, maka pembangunan ekonomi nasional untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih tetap harus lebih fokus untuk mengurangi rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial akibat ketidakmerataan distribusi pendapatan/kekayaan tersebut, dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas demi mayoritas bangsa Indonesia, yaitu yang menitikberatkan pada pemerataan distribusi, bukan hanya peningkatan kesejahteraan pada segelintir orang dan atau pada tingkat provinsi tertentu saja.

3.      Tingkat Pengangguran
Badan Pusat Statistik mengatakan bahwa semakin tinggi angka pengangguran terbuka maka semakin besar potensi kerawanan sosial yang ditimbulkannya, contohnya kriminalitas. Sebaliknya semakin rendah angka pengangguran terbuka maka semakin stabil kondisi sosial dalam masyarakat. Sehingga angka pengangguran juga berperan besar dalam kemakmuran ekonomi di wilayah suatu negara, dan tingkat kemakmuran ekonomi suatu negara mempengaruhi kemakmuran sosial suatu masyarakat di suatu negara.[7]

Angka pengangguran di Indonesia pada 2010 diperkirakan masih akan berada di kisaran 10%, dengan target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sebesar 5,5% tentu tidak akan cukup untuk menyerap tenaga kerja di usia produktif. Sebab, menurut Direktur Keuangan dan PSDM PPM Manajemen bahwa anggaran belanja negara yang kurang dalam peningkatan infrastruktur jelas tidak bisa menekan angka pengangguran. Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5%.[8]

Tingginya angka putus sekolah,[9] tingginya tingkat pelacuran,[10] besarnya prosentase perceraian,[11] dan segudang problema sosial lainnya yang terjadi di Indonesia, semuanya didominasi oleh alasan sebab faktor ekonomi, sedangkan faktor ekonomi tersebut timbul oleh karena sumber pendapatan rumah tangga yang mengecil atau bahkan terhenti, dan sekali lagi angka pengangguran sebagai hulu dari beranekagamnya problema sosial ini muncul.



[1] Ramdhania el-Hida, Pendapatan Per Kapita RI Naik Jadi Rp 24,3 juta di 2009, http://www.detikfinance.com/read/2010/02/10/131037/1296658/4/pendapatan-per-kapita-ri-naik-jadi-rp-243-juta-di-2009, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[2] Ekonomi Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Indonesia, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[3] Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, http://one.indoskripsi.com/node/9788, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[4] Distribusi Pendapatan Nasional, http://www.e-dukasi.net/ mol/mo_full.php?moid=6& fname=eko202_07.htm, diakses tanggal 15 Februari 2010.
[5] Firmanzah, Paradigma Pembangunan Ekonomi, http://economy.okezone.com/read/ 2010/01/13/279/293529/ paradigma-pembangunan-ekonomi, diakses tanggal 15 Februari 2010.
[6] Angela Ratih P., Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia tahun 1990-2005, http://www.adln.lib.unair.ac.id/ go.php?id= gdlhub-gdl-s1-2009- angelarati-10219& PHP SESSID=caf180ece5b04a7bb38bead18988c5d8, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[7] Pengangguran Terbuka (Interpretasi), http://www.datastatistik-indonesia.com/ content/ view/ 803/803/1/4/, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[8] 2010 Pengangguran di Indonesia Masih 10 Persen, http://www.surya.co.id/ 2009/11/12/2010-pengangguran-di-indonesia-masih-10-persen.html, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[9] Faktor Ekonomi Masih Menjadi Alasan Putus Sekolah, http://www.banjarnegarakab.go.id/ menu.php?name=Berita&file=article&sid=956, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[10] Jumlah Pelacuran Anak di Indonesia Capai 45 Ribu, http://www.waspada.co.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=68867:jumlah-pelacuran-anak-di-indonesia-capai-45-ribu&catid=77&Itemid=131, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[11] Faktor Ekonomi Penyebab Terbesar Perceraian, http://www.radarbanten.com/ mod.php? mod=publisher&op=viewarticle&artid=3880, diakses Tanggal 15 Februari 2010.

sumber: http://ekonomipolitikislam.blogspot.com/2010/03/realitas-kemakmuran-di-indonesia.html

Pengamat Ekonomi : Kembali Ke Prinsip Dasar Ekonomi, Bukan Spekulasi Sektor Finansial




Kekritisan Prasetyantoko
Oleh : Maria Hartiningsih & Orin Basuki
Banyak temannya bertanya mengapa ia mau berbicara di forum organisasi nonpemerintah yang anti-Bank Pembangunan Asia atau ADB. Dr A Prasetyantoko (35) menjawab, ”Saya setuju dengan misi teman-teman yang anti-ADB karena ’software’ ADB adalah ’software’ institusi keuangan pada umumnya yang basisnya proyek.”
”Kalau kita mau melakukan counter terhadap lembaga keuangan multilateral, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, peran ADB penting karena bisa menyatukan regional kita,” kata Prasetyantoko yang ditemui di Bali dan Jakarta, pekan lalu.
”Dilemanya, justru ADB adalah bagian dari mereka. Jadi, kenapa mereka ngotot menyalurkan uang, ya karena ini bisnis mereka, seperti Bank Dunia dan IMF juga.”
Bank regional, seperti ADB, diibaratkan komputer. ”Kita membutuhkan komputer, software-nya harus diganti,” lanjut dia.
Karena itu, reformasi ADB merupakan agenda mendesak. Cuma, seperti dikatakannya, ”Kalau melihat konstelasi sekarang, reformasi dari dalam tak akan mungkin.”
Bank regional seperti apa yang dibutuhkan?
Institusi keuangan regional, tetapi dengan cara pandang yang sama sekali lain. Amerika Latin punya bank regional, Banco del Sur, Bank dari Selatan, diluncurkan tahun 2006, sebagai tandingan dari IMF dan Bank Dunia.
Bank itu akan bertahan di tengah arus besar saat ini, dengan syarat, negara-negara yang mendukung keberadaan bank itu punya standpoint sama. Standpoint negara-negara Amerika Latin terhadap AS dan lembaga-lembaga keuangan multilateral sangat jelas. Prasyarat itu tampaknya tak ada di sini. Tidak ada kepemimpinan politik di Asia.
Sangat berisiko
Menurut Prasetyantoko, kesepakatan ADB yang diambil di Bali mengandung risiko luar biasa karena seluruh pembicaraan intinya stimulus. Ada program countercyclical support fund, trade financing, dan peningkatan pinjaman utang. Artinya, akan semakin banyak uang menggelontor di pasar Asia. Dengan begitu, diandaikan ekonomi akan pulih.
”ADB terjebak pada agenda Amerika yang mengandaikan ekonomi akan pulih dengan memperbesar stimulus. Yang pulih mereka. Kita masuk ke jebakan berikutnya. Yang paling berbahaya adalah jebakan surat utang,” kata dia.
Bisa dijelaskan?
Saat ini stimulus-stimulus dianggap sebagai jalan keluar. Risikonya, APBN semua negara akan mengalami defisit fiskal. Untuk menutupnya yang paling mungkin dari state bond. Surat utang negara. Kalau semua itu keluar di pasar, pasarnya crowded. Kalau crowded, yang paling menderita adalah negara-negara yang country risk-nya tinggi.
Dalam peta pasar surat utang global, country risk di kawasan Asia mempunyai tingkat risiko relatif tinggi. Indonesia bersama Vietnam dan Filipina termasuk yang paling tinggi. Salah satu sebabnya karena tingkat inflasinya tinggi. Kalau terjadi gejolak di bond market, kita akan menjadi korban pertama. Dampak konkretnya, akan ada pelarian modal asing dari instrumen obligasi kita ke luar negeri sehingga rupiah tertekan. Untuk mempertahankan agar investor masih tertarik, suku bunga harus dinaikkan. Berarti beban pada anggaran akan meningkat.
Rasio (total) utang kita memang hanya 30 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara negara maju, seperti AS, rasio utangnya 90-an persen terhadap PDB, tetapi country risk mereka rendah. Dalam kondisi krisis saja masih ada investasi masuk, sementara kita dalam kondisi baik pun suku bunga obligasinya tetap tinggi. Ini menunjukkan investor yang memegang surat utang kita harus dikasih kompensasi besar sekali, sementara di AS hanya 2 persen.
Jangan terbuai
Rasio utang luar negeri Indonesia sekarang yang di bawah 20 persen dari PDB, sementara total utang (termasuk utang dalam negeri) sekitar 30 persen PDB, menurut Prasetyantoko, ”Secara teoretis angka ini dianggap dalam ’batas aman’. Karena itu, pemerintah merasa bisa dengan leluasa memperbesar jumlah utang, baik lewat mekanisme bilateral maupun penerbitan obligasi dan surat utang negara yang bunganya sangat tinggi.”
Tetapi, diingatkan, jika terjadi gejolak dan krisis, perilaku aktor ekonomi tidak rasional lagi. Mereka akan berspekulasi, baik untuk mendapatkan keuntungan maupun untuk menyelamatkan diri. Salah satu yang berpotensi akan menjadi ajang spekulasi adalah pasar surat utang (bond market).
”ADB meyakini, kawasan Asia saat ini merupakan kawasan yang aman dari spekulasi pasar surat utang. Karena itu, salah satu hasil dari pertemuan ADB kemarin adalah meningkatkan Asian Bond Market Initiatives (ABMI), dan ADB menjadi penjamin penerbitan obligasi,” lanjut dia.
Kondisi terburuk apa yang mungkin terjadi pada perekonomian kita akibat krisis global dan langkah apa yang perlu dilakukan agar itu tak terjadi?
Global bubble bond adalah kondisi terburuk. Kita harus menghindarinya agar tak masuk ke jebakan surat utang. Strategi keluar dari krisis dengan mengandalkan utang dan menerbitkan surat utang itu ibarat keluar dari mulut macan masuk ke mulut buaya.
Inisiatif ADB memperbesar surat utang harus dikaji agar jangan sampai menimbulkan gelembung surat utang di kawasan Asia. Kalau itu terjadi, krisis finansial berikutnya kemungkinan akan berpusat di Asia. Kalau krisis 2007/2008 yang kolaps adalah neraca bank dan perusahaan investasi, bisa jadi pada krisis berikut yang kolaps adalah neraca pemerintah karena terlalu terbebani surat utang akibat defisit anggaran yang digunakan untuk stimulus fiskal.
Jadi, jangan terbuai pada pernyataan bahwa kita ”baik- baik” saja dan paling mild terkena dampak krisis. Singapura akan minus 10 persen tahun ini, kita masih tumbuh 3 persen, bahkan mungkin 4 persen. Tetapi, persis itu yang menunjukkan negara kita tak terlalu terpapar oleh dinamika global. Ekspor kita kecil, sektor pasar uang kita juga belum berkembang baik. Tetapi, ke depan kita bisa menghadapi risiko paling tinggi di antara negara-negara Asia lain. Teknokrat Indonesia seharusnya menyadari kondisi ini.
Kembali ke prinsip dasar
”Saya menganut pendekatan ekonomi heterodoks atau mengambil sikap kritis terhadap pandangan ortodoksi dalam ilmu ekonomi yang sangat mekanistis,” ujar Prasetyantoko.
Pandangan ortodoks meyakini pasar adalah cara paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya, dan sumber daya kapital diyakini bersifat netral. ”Terhadap dua prinsip dasar ini, saya sangat kritis. Dari situlah asal-muasal kenapa krisis selalu terjadi, hanya berpindah tempat dari satu kawasan ke kawasan lain, dari satu pemicu ke pemicu lainnya….”
Bagaimana agar krisis tak selalu berulang?
Yang diperlukan, perubahan paradigma. Pertanyaan mendasarnya, mengapa krisis selalu balik lagi. Ada dua agenda yang muncul di sidang G-20. Agenda AS mengatakan, obatnya stimulus. Agenda Eropa mengatakan, problemnya adalah regulasi sektor finansial. ADB bahkan tidak berbicara sedikit pun soal regulasi sektor finansial.
Kita masuk di jebakan pertama. Teknokrat Indonesia adalah bagian dari cara pandang lembaga multilateral seperti ADB. Mereka meyakini, satu-satunya cara menggerakkan ekonomi adalah dengan menyuntik modal. Jadi, mereka sudah merasa melakukan yang terbaik ketika bisa menambah dana stimulus, bisa memberi cash transfer kepada orang miskin (dalam bentuk bantuan langsung tunai/BLT). Mereka tidak bergerak dari pakem ini.
Padahal, yang dibutuhkan tak selalu uang. Kemiskinan sebenarnya bisa diselesaikan dengan sumber daya lokal, salah satunya mengandalkan ikatan sosial di antara mereka. Para ahli ilmu sosial mengatakan, penetrasi kapital justru merusak ikatan sosial mereka. Contoh paling jelas, orang sampai meninggal karena desak-desakan hanya untuk dapat Rp 20.000. Tetapi, para teknokrat tak bisa melihat itu sebagai realitas. Bagi mereka, kemiskinan adalah persoalan kapital, maka pengentasan masyarakat dari kemiskinan adalah tambahan modal untuk ”program-program” pengentasan masyarakat dari kemiskinan, yang akhirnya jatuh pada ”proyek-proyek”.
ADB (bersama Bank Dunia) adalah salah satu lembaga yang katanya punya perhatian pada masalah kemiskinan dan ketimpangan. Kenyataannya, masalah kemiskinan dan ketimpangan lebih parah meski dalam skala kecil. Secara keseluruhan (agregat) memang angka kemiskinan menurun, tetapi sejumlah kecil yang kemiskinannya tambah parah dianggap sebagai ”residu” atau risiko alamiah. IMF lebih parah lagi. Lembaga itu didirikan untuk mencegah krisis, tetapi secara keseluruhan pola kebijakannya justru bersifat pro-siklus, artinya mendorong risiko krisis menjadi semakin besar.
Apa solusi yang Anda tawarkan?
Kembali ke prinsip dasar ekonomi, yang namanya ekonomi adalah proses produksi menghasilkan barang dan jasa guna menyejahterakan semakin banyak orang, bukan spekulasi sektor finansial, pasar uang, pasar utang, dan pasar saham. Sektor finansial harus dikembalikan pada fungsi dasarnya, yaitu menopang usaha ekonomi produktif, bukan memodifikasi diri menjadi instrumen canggih atau produk derivatif yang pada akhirnya penuh dengan spekulasi dan manipulasi.[] Kompas, 10/05/2009