19 April 2011

Realitas Kemakmuran di Indonesia

Oleh: Muhammad Baiquni Syihab


Tingkat Kemakmuran di Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makmur adalah banyaknya hasil, atau banyaknya penduduk dan sejahtera, dan atau serba kecukupan, tidak kekurangan, sedangkan kemakmuran berarti keadaan makmur. Kondisi suatu negara bisa dikatakan makmur apabila tidak ada atau jarangnya permasalahan secara kolektif muncul bergejolak, baik pada ekonominya, kondisi sosial dan politiknya, dan lain sebagainya, bahkan kondisi prestasi pada bidang-bidang tersebut justru cenderung meningkat, maka negara yang mengalami kondisi tersebut dapat dikatakan makmur.

Indonesia sebagai sebuah negara dapat terlihat tingkat kemakmuran ekonominya, setidaknya dengan melihat pertumbuhan dan pemerataan kekayaan perekonomian rakyatnya.

1.      Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 mencapai 4,5 %, membuat pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2009 naik menjadi Rp 24,3 juta (US$ 2.590,1) dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya sebesar Rp 21,7 juta, demikian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut menurut Deputi Neraca dan Bidang Analisis Statistik.[1]

Pada era orde baru, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada tahun 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, Rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah juga menerapkan sistem anggaran berimbang. Namun banyak dari anggaran pembangunan justru dibiayai melalui bantuan asing/hutang. Pada pertengahan tahu 1980-an pemerintah mengambil langkah yang ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. Sehingga GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.[2]

Berbeda dengan pertumbuhan ekonomi orde baru dan era reformasi, pertumbuhan ekonomi di era orde lama tidak sempat diperhatikan oleh sebab bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan yang cukup signifikan. Pada periode tahun 1950-an Indonesia menerapkan model guidance development dalam pengelolaan ekonomi, dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth di mana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi (pembangunan semesta berencana). Model ini tidak berhasil, karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama dan simultan. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadinya hiper inflasi yang mencapai lebih dari 500% pada akhir tahun 1965.[3]




2.      Kemerataan Distribusi Pendapatan
Koefisien gini adalah salah satu alat untuk melihat kemerataan distribusi ekonomi suatu negara, suatu distribusi pendapatan dikatakan semakin merata jika nilai koefisien gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai koefisien gininya makin mendekati satu.[4]

Dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), memperlihatkan bahwa pada tahun 1965–1970 menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 2,7% dengan koefisien gini sebesar 0,35. Berikutnya pada tahun 1971–1980 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% dengan koefisien gini sebesar 0,4; pada tahun 1981–1990 pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4% dengan koefisien gini sebesar 0,3. Adapun koefisien gini tahun 1998 sebesar 0,32; tahun 1999 sebesar 0,33; pada tahun 2002 sebesar 0,33, tahun 2004 sebesar 0,32; tahun 2006 sebesar 0,36; serta tahun 2007 sebesar 0,37. [5]

Selain itu, penelitian di beberapa provinsi di Indonesia tahun 1990-2005 yang menggunakan metode Data Panel yaitu secara Cross Section dan Time Series, serta dengan menggunakan analisis FEM (Fixed Effect Method), menunjukkan hasil bahwa memang terjadi ketimpangan distribusi pendapatan pada tingkat antar provinsi-provinsi di Indonesia, yang meningkat seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi. Sehingga, pada awal tahun 1990 bentuk kurva U-inverted Kuznet terjadi di Indonesia.[6]

Memperhatikan data di atas, maka pembangunan ekonomi nasional untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih tetap harus lebih fokus untuk mengurangi rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial akibat ketidakmerataan distribusi pendapatan/kekayaan tersebut, dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas demi mayoritas bangsa Indonesia, yaitu yang menitikberatkan pada pemerataan distribusi, bukan hanya peningkatan kesejahteraan pada segelintir orang dan atau pada tingkat provinsi tertentu saja.

3.      Tingkat Pengangguran
Badan Pusat Statistik mengatakan bahwa semakin tinggi angka pengangguran terbuka maka semakin besar potensi kerawanan sosial yang ditimbulkannya, contohnya kriminalitas. Sebaliknya semakin rendah angka pengangguran terbuka maka semakin stabil kondisi sosial dalam masyarakat. Sehingga angka pengangguran juga berperan besar dalam kemakmuran ekonomi di wilayah suatu negara, dan tingkat kemakmuran ekonomi suatu negara mempengaruhi kemakmuran sosial suatu masyarakat di suatu negara.[7]

Angka pengangguran di Indonesia pada 2010 diperkirakan masih akan berada di kisaran 10%, dengan target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya sebesar 5,5% tentu tidak akan cukup untuk menyerap tenaga kerja di usia produktif. Sebab, menurut Direktur Keuangan dan PSDM PPM Manajemen bahwa anggaran belanja negara yang kurang dalam peningkatan infrastruktur jelas tidak bisa menekan angka pengangguran. Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5%.[8]

Tingginya angka putus sekolah,[9] tingginya tingkat pelacuran,[10] besarnya prosentase perceraian,[11] dan segudang problema sosial lainnya yang terjadi di Indonesia, semuanya didominasi oleh alasan sebab faktor ekonomi, sedangkan faktor ekonomi tersebut timbul oleh karena sumber pendapatan rumah tangga yang mengecil atau bahkan terhenti, dan sekali lagi angka pengangguran sebagai hulu dari beranekagamnya problema sosial ini muncul.



[1] Ramdhania el-Hida, Pendapatan Per Kapita RI Naik Jadi Rp 24,3 juta di 2009, http://www.detikfinance.com/read/2010/02/10/131037/1296658/4/pendapatan-per-kapita-ri-naik-jadi-rp-243-juta-di-2009, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[2] Ekonomi Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Indonesia, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[3] Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia, http://one.indoskripsi.com/node/9788, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[4] Distribusi Pendapatan Nasional, http://www.e-dukasi.net/ mol/mo_full.php?moid=6& fname=eko202_07.htm, diakses tanggal 15 Februari 2010.
[5] Firmanzah, Paradigma Pembangunan Ekonomi, http://economy.okezone.com/read/ 2010/01/13/279/293529/ paradigma-pembangunan-ekonomi, diakses tanggal 15 Februari 2010.
[6] Angela Ratih P., Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia tahun 1990-2005, http://www.adln.lib.unair.ac.id/ go.php?id= gdlhub-gdl-s1-2009- angelarati-10219& PHP SESSID=caf180ece5b04a7bb38bead18988c5d8, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[7] Pengangguran Terbuka (Interpretasi), http://www.datastatistik-indonesia.com/ content/ view/ 803/803/1/4/, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[8] 2010 Pengangguran di Indonesia Masih 10 Persen, http://www.surya.co.id/ 2009/11/12/2010-pengangguran-di-indonesia-masih-10-persen.html, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[9] Faktor Ekonomi Masih Menjadi Alasan Putus Sekolah, http://www.banjarnegarakab.go.id/ menu.php?name=Berita&file=article&sid=956, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[10] Jumlah Pelacuran Anak di Indonesia Capai 45 Ribu, http://www.waspada.co.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=68867:jumlah-pelacuran-anak-di-indonesia-capai-45-ribu&catid=77&Itemid=131, diakses Tanggal 15 Februari 2010.
[11] Faktor Ekonomi Penyebab Terbesar Perceraian, http://www.radarbanten.com/ mod.php? mod=publisher&op=viewarticle&artid=3880, diakses Tanggal 15 Februari 2010.

sumber: http://ekonomipolitikislam.blogspot.com/2010/03/realitas-kemakmuran-di-indonesia.html

Pengamat Ekonomi : Kembali Ke Prinsip Dasar Ekonomi, Bukan Spekulasi Sektor Finansial




Kekritisan Prasetyantoko
Oleh : Maria Hartiningsih & Orin Basuki
Banyak temannya bertanya mengapa ia mau berbicara di forum organisasi nonpemerintah yang anti-Bank Pembangunan Asia atau ADB. Dr A Prasetyantoko (35) menjawab, ”Saya setuju dengan misi teman-teman yang anti-ADB karena ’software’ ADB adalah ’software’ institusi keuangan pada umumnya yang basisnya proyek.”
”Kalau kita mau melakukan counter terhadap lembaga keuangan multilateral, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, peran ADB penting karena bisa menyatukan regional kita,” kata Prasetyantoko yang ditemui di Bali dan Jakarta, pekan lalu.
”Dilemanya, justru ADB adalah bagian dari mereka. Jadi, kenapa mereka ngotot menyalurkan uang, ya karena ini bisnis mereka, seperti Bank Dunia dan IMF juga.”
Bank regional, seperti ADB, diibaratkan komputer. ”Kita membutuhkan komputer, software-nya harus diganti,” lanjut dia.
Karena itu, reformasi ADB merupakan agenda mendesak. Cuma, seperti dikatakannya, ”Kalau melihat konstelasi sekarang, reformasi dari dalam tak akan mungkin.”
Bank regional seperti apa yang dibutuhkan?
Institusi keuangan regional, tetapi dengan cara pandang yang sama sekali lain. Amerika Latin punya bank regional, Banco del Sur, Bank dari Selatan, diluncurkan tahun 2006, sebagai tandingan dari IMF dan Bank Dunia.
Bank itu akan bertahan di tengah arus besar saat ini, dengan syarat, negara-negara yang mendukung keberadaan bank itu punya standpoint sama. Standpoint negara-negara Amerika Latin terhadap AS dan lembaga-lembaga keuangan multilateral sangat jelas. Prasyarat itu tampaknya tak ada di sini. Tidak ada kepemimpinan politik di Asia.
Sangat berisiko
Menurut Prasetyantoko, kesepakatan ADB yang diambil di Bali mengandung risiko luar biasa karena seluruh pembicaraan intinya stimulus. Ada program countercyclical support fund, trade financing, dan peningkatan pinjaman utang. Artinya, akan semakin banyak uang menggelontor di pasar Asia. Dengan begitu, diandaikan ekonomi akan pulih.
”ADB terjebak pada agenda Amerika yang mengandaikan ekonomi akan pulih dengan memperbesar stimulus. Yang pulih mereka. Kita masuk ke jebakan berikutnya. Yang paling berbahaya adalah jebakan surat utang,” kata dia.
Bisa dijelaskan?
Saat ini stimulus-stimulus dianggap sebagai jalan keluar. Risikonya, APBN semua negara akan mengalami defisit fiskal. Untuk menutupnya yang paling mungkin dari state bond. Surat utang negara. Kalau semua itu keluar di pasar, pasarnya crowded. Kalau crowded, yang paling menderita adalah negara-negara yang country risk-nya tinggi.
Dalam peta pasar surat utang global, country risk di kawasan Asia mempunyai tingkat risiko relatif tinggi. Indonesia bersama Vietnam dan Filipina termasuk yang paling tinggi. Salah satu sebabnya karena tingkat inflasinya tinggi. Kalau terjadi gejolak di bond market, kita akan menjadi korban pertama. Dampak konkretnya, akan ada pelarian modal asing dari instrumen obligasi kita ke luar negeri sehingga rupiah tertekan. Untuk mempertahankan agar investor masih tertarik, suku bunga harus dinaikkan. Berarti beban pada anggaran akan meningkat.
Rasio (total) utang kita memang hanya 30 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara negara maju, seperti AS, rasio utangnya 90-an persen terhadap PDB, tetapi country risk mereka rendah. Dalam kondisi krisis saja masih ada investasi masuk, sementara kita dalam kondisi baik pun suku bunga obligasinya tetap tinggi. Ini menunjukkan investor yang memegang surat utang kita harus dikasih kompensasi besar sekali, sementara di AS hanya 2 persen.
Jangan terbuai
Rasio utang luar negeri Indonesia sekarang yang di bawah 20 persen dari PDB, sementara total utang (termasuk utang dalam negeri) sekitar 30 persen PDB, menurut Prasetyantoko, ”Secara teoretis angka ini dianggap dalam ’batas aman’. Karena itu, pemerintah merasa bisa dengan leluasa memperbesar jumlah utang, baik lewat mekanisme bilateral maupun penerbitan obligasi dan surat utang negara yang bunganya sangat tinggi.”
Tetapi, diingatkan, jika terjadi gejolak dan krisis, perilaku aktor ekonomi tidak rasional lagi. Mereka akan berspekulasi, baik untuk mendapatkan keuntungan maupun untuk menyelamatkan diri. Salah satu yang berpotensi akan menjadi ajang spekulasi adalah pasar surat utang (bond market).
”ADB meyakini, kawasan Asia saat ini merupakan kawasan yang aman dari spekulasi pasar surat utang. Karena itu, salah satu hasil dari pertemuan ADB kemarin adalah meningkatkan Asian Bond Market Initiatives (ABMI), dan ADB menjadi penjamin penerbitan obligasi,” lanjut dia.
Kondisi terburuk apa yang mungkin terjadi pada perekonomian kita akibat krisis global dan langkah apa yang perlu dilakukan agar itu tak terjadi?
Global bubble bond adalah kondisi terburuk. Kita harus menghindarinya agar tak masuk ke jebakan surat utang. Strategi keluar dari krisis dengan mengandalkan utang dan menerbitkan surat utang itu ibarat keluar dari mulut macan masuk ke mulut buaya.
Inisiatif ADB memperbesar surat utang harus dikaji agar jangan sampai menimbulkan gelembung surat utang di kawasan Asia. Kalau itu terjadi, krisis finansial berikutnya kemungkinan akan berpusat di Asia. Kalau krisis 2007/2008 yang kolaps adalah neraca bank dan perusahaan investasi, bisa jadi pada krisis berikut yang kolaps adalah neraca pemerintah karena terlalu terbebani surat utang akibat defisit anggaran yang digunakan untuk stimulus fiskal.
Jadi, jangan terbuai pada pernyataan bahwa kita ”baik- baik” saja dan paling mild terkena dampak krisis. Singapura akan minus 10 persen tahun ini, kita masih tumbuh 3 persen, bahkan mungkin 4 persen. Tetapi, persis itu yang menunjukkan negara kita tak terlalu terpapar oleh dinamika global. Ekspor kita kecil, sektor pasar uang kita juga belum berkembang baik. Tetapi, ke depan kita bisa menghadapi risiko paling tinggi di antara negara-negara Asia lain. Teknokrat Indonesia seharusnya menyadari kondisi ini.
Kembali ke prinsip dasar
”Saya menganut pendekatan ekonomi heterodoks atau mengambil sikap kritis terhadap pandangan ortodoksi dalam ilmu ekonomi yang sangat mekanistis,” ujar Prasetyantoko.
Pandangan ortodoks meyakini pasar adalah cara paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya, dan sumber daya kapital diyakini bersifat netral. ”Terhadap dua prinsip dasar ini, saya sangat kritis. Dari situlah asal-muasal kenapa krisis selalu terjadi, hanya berpindah tempat dari satu kawasan ke kawasan lain, dari satu pemicu ke pemicu lainnya….”
Bagaimana agar krisis tak selalu berulang?
Yang diperlukan, perubahan paradigma. Pertanyaan mendasarnya, mengapa krisis selalu balik lagi. Ada dua agenda yang muncul di sidang G-20. Agenda AS mengatakan, obatnya stimulus. Agenda Eropa mengatakan, problemnya adalah regulasi sektor finansial. ADB bahkan tidak berbicara sedikit pun soal regulasi sektor finansial.
Kita masuk di jebakan pertama. Teknokrat Indonesia adalah bagian dari cara pandang lembaga multilateral seperti ADB. Mereka meyakini, satu-satunya cara menggerakkan ekonomi adalah dengan menyuntik modal. Jadi, mereka sudah merasa melakukan yang terbaik ketika bisa menambah dana stimulus, bisa memberi cash transfer kepada orang miskin (dalam bentuk bantuan langsung tunai/BLT). Mereka tidak bergerak dari pakem ini.
Padahal, yang dibutuhkan tak selalu uang. Kemiskinan sebenarnya bisa diselesaikan dengan sumber daya lokal, salah satunya mengandalkan ikatan sosial di antara mereka. Para ahli ilmu sosial mengatakan, penetrasi kapital justru merusak ikatan sosial mereka. Contoh paling jelas, orang sampai meninggal karena desak-desakan hanya untuk dapat Rp 20.000. Tetapi, para teknokrat tak bisa melihat itu sebagai realitas. Bagi mereka, kemiskinan adalah persoalan kapital, maka pengentasan masyarakat dari kemiskinan adalah tambahan modal untuk ”program-program” pengentasan masyarakat dari kemiskinan, yang akhirnya jatuh pada ”proyek-proyek”.
ADB (bersama Bank Dunia) adalah salah satu lembaga yang katanya punya perhatian pada masalah kemiskinan dan ketimpangan. Kenyataannya, masalah kemiskinan dan ketimpangan lebih parah meski dalam skala kecil. Secara keseluruhan (agregat) memang angka kemiskinan menurun, tetapi sejumlah kecil yang kemiskinannya tambah parah dianggap sebagai ”residu” atau risiko alamiah. IMF lebih parah lagi. Lembaga itu didirikan untuk mencegah krisis, tetapi secara keseluruhan pola kebijakannya justru bersifat pro-siklus, artinya mendorong risiko krisis menjadi semakin besar.
Apa solusi yang Anda tawarkan?
Kembali ke prinsip dasar ekonomi, yang namanya ekonomi adalah proses produksi menghasilkan barang dan jasa guna menyejahterakan semakin banyak orang, bukan spekulasi sektor finansial, pasar uang, pasar utang, dan pasar saham. Sektor finansial harus dikembalikan pada fungsi dasarnya, yaitu menopang usaha ekonomi produktif, bukan memodifikasi diri menjadi instrumen canggih atau produk derivatif yang pada akhirnya penuh dengan spekulasi dan manipulasi.[] Kompas, 10/05/2009

Tanpa Pajak, Negara Ambruk?


 

Oleh Arim Nasim
Makelar kasus yang melibatkan salah seorang pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, menyulut gerakan boikot pajak terutama di dunia maya, dan ini dikhawatirkan bakal mengancam penerimaan negara dari pajak. Hal itu sebagaimana disampaikan Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz, Jumat (26/3). Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa pajak adalah darah kehidupan (life blood) negara. Pajak dibayar negara tegak; pajak diboikot negara ambruk. Benarkah tanpa pajak, negara akan ambruk? Bagaimana posisi pajak dalam sistem ekonomi Islam? Benarkah pajak mewujudkan keadilan?
Berbagai upaya dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk meningkatkan pendapatan negara dari pajak baik melalui penyadaran penting pajak dalam pembangunan maupun melalui iklan di media yang terkenal dengan semboyannya “Apa Kata Dunia?” Hasilnya memang luar biasa, pendapatan negara dari pajak semakin meningkat dari tahun ke tahun, misalnya pada 1989 sumber pendapatan negara dari pajak masih sekitar 51 persen tetapi pada 2006 pendapatan negara dari pajak meningkat menjadi 75 persen, sisanya dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pinjaman.
Namun ironisnya, ketika rakyat digenjot untuk membayar pajak, pada saat yang sama pemerintah semakin mudahnya mengobral kekayaan alam dan barang tambang dengan harga murah. Hal itu dilakukan melalui projek privatisasi dan swastanisasi, yaitu penyerahan pengelolaan SDA ke swasta khususnya asing melalui peningkatan investasi yang dilegalkan melalui UU seperti UU SDA, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Penanamaan Modal, dan lain-lain. Akhirnya terjadilah kondisi yang ironis. Rakyat dikejar-kejar dengan pajak, sementara kekayaan barang tambang dan SDA lain yang melimpah ruah justru dinikmati perusahaan asing. Oleh karena itu, sebenarnya naiknya sumber pendapatan negara dari pajak semakin menunjukkan kokohnya ekonomi neoliberal yang diterapkan oleh pemerintah.
Pada sisi pengeluaran negara, fungsi pajak yang secara teorinya memiliki fungsi regulasi atau distribusi dari orang kaya untuk orang miskin ternyata baru sebatas iklan karena kenyataannya setiap APBN yang dihasilkan selalu tidak prorakyat. Sebagai contoh, APBN 2010 dinilai masih pro terhadap birokrasi dan kapitalis, hal ini bisa dilihat dengan menurunnya anggaran subsidi dari Rp 166, 9 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 144,3 triliun (RAPBN 2010) sedangkan pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi Rp 115 triliun.
Makelar kasus yang melibatkan Gayus, karyawan golongan III A di Ditjen Pajak yang menangani kasus keberatan pajak yang diajukan lebih dari seratus perusahaan semakin menambah kekecewaan para pembayar pajak. Yang terbayang di benak mereka, golongan III A saja mampu melakukan korupsi Rp 28 miliar, bagaimana dengan pejabat-pejabat yang ada di atasnya? Maka sebenarnya hal yang wajar ketika muncul fenomena boikot pajak karena bisa jadi para pembayar pajak menyadari bahwa ternyata pajak hanya sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat.
Dalam sistem ekonomi Islam, penerimaan negara tidak boleh bertumpu pada pajak. Menurut Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Sistem Keuangan Negara dalam Sistem Islam, sumber pendapatan negara bertumpu pada pengelolaan negara atas kepemilikan umum seperti sumber daya alam di antaranya kekayaan hutan, minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada pemilikan umum ini, hanya negara yang b erperan sebagai pengelola. Dengan demikian, syariat Islam melarang pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok orang (swasta), apalagi swasta asing. Sayangnya, yang justru terjadi adalah banyak kekayaan alam (hasil hutan, minyak bumi, barang tambang, dan lain-lain)–yang sejatinya milik rakyat–diserahkan begitu saja kepada swasta bahkan swasta asing, atas nama swastanisasi dan privatisasi. Jutaan ton emas dan tembaga di bumi Papua, misalnya, diserahkan kepada PT Freeport, sedangkan miliaran barel minyak di Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobil. Kontrak blok gas tangguh yang berpotensi merugikan negara Rp 750 triliun (25 tahun) diberikan ke Cina.
Oleh karena itu, yang kita butuhkan saat ini bukan pemimpin yang terus-menerus memoroti rakyat dengan pajak melalui iklan yang menyesatkan, tetapi yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mampu mengembalikan kekayaan alam atau sumber daya alam milik rakyat (saat ini hampir 90 persen sumber daya alam kita dikuasai asing) dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tentu hal ini akan terealisasi kalau kita kita bebas dari cengkeraman neoliberal dan menggantinya dengan sistem ekonomi yang manusiawi, yaitu sistem ekonomi berbasis syariah.***
(sumber:  Pikiran Rakyat , selasa 13 April 2010 bisa diakses melalui http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=136386)
Penulis, Koordinator Mata Kuliah Ekonomi Syariah- Fakultas Pendidikan Ekonomi & Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia dan kandidat Doktor Bidang Ilmu Ekonomi Unpad.

sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/04/16/tanpa-pajak-negara-ambruk/

Anomali Pertumbuhan Ekonomi




Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan indikator kinerja makro yang sangat populer, dan dalam hitungannya merupakan derivasi dari PDB (produk domestik bruto) atau GDP (gross domestic product). Popularitasnya disebabkan banyaknya kaitan penggunaan indikator tersebut dengan kegunaan praktis dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Sering kita baca/dengar berita dari media tentang tingkat defisit anggaran, pendapatan per kapita, investasi, maupun kontribusi ekonomi sektoral, yang semuanya dikaitkan dengan besaran PDB.
Di tengah meluasnya penggunaan indikator tersebut, masih sering terjadi salah tafsir sehingga masyarakat seolah dihadapkan kepada anomali, dan secara ekonomi merugikan. Ada pendapat, apabila pertumbuhan ekonomi tinggi, secara otomatis seluruh masyarakat akan tambah sejahtera serta kemiskinan dan pengangguran berkurang. Benarkah analisis tersebut? Mungkin benar, tetapi tidak sepenuhnya, atau bahkan mungkin sebaliknya.
Sesuatu yang sering dibanggakan banyak pihak adalah bahwa di tengah krisis ekonomi dunia, ekonomi Indonesia masih tumbuh 4,5% (2008 sebesar 6%). Dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,34%, jelas ekonomi per kapita rata-rata masih tumbuh di atas 3%. Namun, kesimpulan akan lain apabila dimasukkan variabel pemerataan, dan di sinilah masalah muncul sehingga analisis yang berbasis pertumbuhan tanpa mengacu kepada pengertian konsep dan definisi serta tata cara penghitungannya sering membuat kesimpulan menjadi bias. Kalau hanya sebagai kajian akademis masih ‘baik-baik saja’. Celakanya apabila digunakan untuk kebijakan ekonomi, bisa menjerumuskan dan merugikan.
Secara konseptual, setiap aktivitas ekonomi akan menghasilkan nilai tambah (value added)-–nilai yang ditambahkan atas nilai bahan baku/input antara–yang merupakan balas jasa faktor produksi–tenaga kerja, tanah, modal, dan kewiraswastaan. Penjumlahan value added di suatu wilayah teritorial (Indonesia) dan dalam selang waktu tertentu (triwulan, setahun) menghasilkan PDB wilayah tersebut.
Dengan demikian, penguasaan faktor produksi menentukan kepemilikan nilai tambah. Selanjutnya, pertambahan riil PDB dalam triwulan/setahun dinamakan pertumbuhan ekonomi triwulan/tahun bersangkutan. Kata riil mengacu kepada PDB yang telah ‘dihilangkan’ inflasinya sehingga pertumbuhan ekonomi sudah ‘bersih’ dari pengaruh perubahan harga dan merupakan pertumbuhan jumlah ‘kuantitas’ produk.
Benarkan pertumbuhan yang terjadi telah menyejahterakan masyarakat?
Masalah penguasaan faktor produksi dan besaran kontribusi sektoral menjadi faktor nyata ‘melesetnya’ interpretasi yang merugikan masyarakat, dan berikut ini diberikan uraian anomali akibat salah interpretasi.
Pertama, produksi pertambangan di Indonesia dengan kondisi faktor produksi tenaga kerja berpendapatan rendah, umumnya pelakunya adalah masyarakat Indonesia. Tenaga ahli, yang umumnya pendapatannya jauh lebih tinggi, adalah ekspatriat. Data sebuah perusahaan tambang menunjukkan bahwa jumlah uang untuk membayar tenaga ekspatriat berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerjanya. Jumlah ekspatriat sedikit total nilai gaji dan tunjangannya besar.
Walaupun tanahnya milik Indonesia, dalam penggunaannya dikuasai asing. Demikian juga modalnya dari mereka sehingga walaupun dicatat di Indonesia, PDB-nya lebih dinikmati mereka. Nilai tambah yang tercipta dan merupakan hak pekerja hanya bagian kecil, sebaliknya sebagian (besar) lainnya adalah milik penguasa faktor produksi. Pemerintah mendapat pajak dari aktivitas ekonomi ini, yang jumlahnya lebih kecil jika dibandingkan dengan milik asing. Dengan analogi itu, apabila pertumbuhan ekonomi terjadi karenanya, yang ‘lebih tumbuh’ adalah mereka. Bagaimana kalau banyak bisnis pertambangan semacam itu? Mungkin nantinya sumber daya habis, ternyata yang lebih menikmati adalah asing.
Kedua, untuk perusahaan jasa, misalkan perbankan, mungkin lebih parah. Mereka melayani aktivitas ekonomi Indonesia, dan semua transaksi keuangan dalam perekonomian hampir pasti akan dikelola sektor tersebut. Kendatipun lokasi bisnis di Indonesia, dan kinerjanya dicatat dalam PDB negeri ini, karena sebagian besar faktor produksinya dimiliki dan dikuasai asing, nilai tambahnya sebagian besar juga milik asing. Karena usaha jasa saat ini sarat dengan ICT (information-communication technology), hanya sedikit tenaga kerja yang diserap. Bisnis jasa bukan hanya perbankan. Peran asing sudah mendominasi.
Ketiga, usaha besar jumlahnya sedikit, sebaliknya usaha kecil jumlahnya banyak. Usaha besar sering merupakan afiliasi asing yang operasionalisasinya sangat efisien, sedangkan usaha kecil masih menjadi perbincangan untuk didorong maju. Ritel modern yang berjaringan luas, efisien, dan diizinkan masuk ke daerah kecil didampingkan dengan ritel tradisional yang sering berpenampilan kumuh dan kurang menarik pengunjung. Karuan saja, yang besar tumbuh besar dan yang kecil semakin kecil dan mungkin mati. Ritel besar berkontribusi besar ke PDB, sedangkan ritel kecil, kendatipun jumlahnya ’sangat banyak’ kontribusinya kecil. Dengan demikian, apabila sektor perdagangan tumbuh, secara matematis lebih menggambarkan pertumbuhan yang besar. Ada media menggambarkan keterjepitan pasar tradisional.
Keempat, produk air kemasan merek terkenal sudah menjadi milik perusahaan multinasional, yang tentu saja ada bagian (besar) faktor produksi yang dikuasai mereka. Padahal, teknologinya sudah tidak asing bagi masyarakat dalam negeri.
Kelima, bisnis kuliner yang berbentuk waralaba memang sebagian besar faktor produksinya dimiliki dan dikuasai bangsa Indonesia. PDB yang tercipta lebih banyak menguntungkan Indonesia. Namun, bukan berarti secara ‘bersih’ dinikmati Indonesia. Fee waralaba asing akan mengalir ‘ke luar’, dan terkategorikan sebagai ‘kebocoran’ ekonomi Indonesia.
Dengan uraian anomali pertumbuhan ekonomi tersebut, jelaslah bahwa pertumbuhan ekonomi semacam itu bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan. Gambaran tersebut lebih menunjukkan pertumbuhan yang tidak berkualitas. Bahkan kebijakan yang didasarkan pertumbuhan ekonomi seperti itu sangat mungkin merugikan, dan sasaran yang dibidik tidak tercapai. Pengambil kebijakan publik dapat terjebak dalam misinterpretasi, dan pro-growth menjadi tidak pro-job dan pro-poor.
Oleh Dr Bambang Heru Direktur Statistik Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan BPS dan Sekretaris Ikatan Perstatistikan Indonesia (ISI), atau Statistika Indonesia. Artikel ini merupakan pendapat pribadi.
sumber: mediaindonesia.com (25/3/2010)

sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/04/04/anomali-pertumbuhan-ekonomi/

Utang Luar Negeri: Fakta, Bahaya Dan Tinjauan Hukum Syara

HTI-Press. Memasuki pertengahan semester kedua tahun 2008 utang luar negeri Indonesia meningkat US$ 2,335 miliar. salah satu dampak penammbahan signifikian akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap tiga valuta asing utama, yakni yen Jepang, dollar AS, dan euro!!! (Bulan juni 2008 utang luar negeri Indonesia masih 1,780 Milyar Dollar). (Kompas, Senin 24 November 2008)
Cicilan yang harus dibayar tahun 2009 sebesar US$22 milyar, artinya tahun 2009 Negera kita harus mengeluarkan Rp 250 triliun. Terdiri dari, utang pemerintah US$ 9 miliar dan utang luar negeri (LN) swasta US$ 13 miliar. Di antara utang pemerintah itu, uang LN yang jatuh tempo pada 2009 senilai Rp 59 triliun. Sedangkan cadangan devisa kita hanya $50miliar. (Kompas, Senin 24 November 2008)
Cicilan tahun 2009 tersebut kalau kita komparasikan dengan jumlah penduduk Indonesia (± 230juta jiwa) maka total cicilan yang harus dibayar tahun 2009 adalah Rp. 1,086,000/jiwa penduduk. Bandingkan dengan UMR DKI Jakarta tahun adalah RP. 1,069,865. Akan tetapi kalau kita mau melunasi utang kita tiap penduduk kita harus membayar 106juta/jiwa penduduk.
Dengan total utang 2,335 milyar Dollar Perlu kita ketahui dengan tingkat bunga sekitar 5%, jumlah bunga yang harus kita bayarkan berkisar 116,7 milyar Dollar.!!! Seandainya kita mengasumbikan tiap hari seorang penduduk Indonesia untuk makan tiap hari mengeluarkan biaya Rp 15 ribu rupiah sekali makan dan 3 kali makan dalam sehari (Rp. 45,000). Maka untuk bunganya saja dari utang kita dalam setahun sangat mencukupi untuk makan penduduk Indonesia sebanyak 71, juta jiwa selama setahun!!!!
Sampai saat ini kita tidak melihat adanya usaha yang serius dari pemerintah Indonesia untuk berinisiatif mendesak negara-negara Donor, sekalipun hanya untuk merumuskan proposal pengurangan/penghapusan utang. Dalam tiga tahun kebelakang ada beberapa kesempatan resmi untuk hal tersebut, misalnya saat UN Millennium+5 Summit bulan September 2005 di New York, KTT D-8 pada Mei 2006 di Bali, atau yang terbaru pertemuan G20 di Brasil Awal November 2008.
Padahal pemerintah juga punya alasan yang sangat baik untuk pengurangan/penghapusan utang seperti Bencana alam yang menelan korban dan kerusakan infrastruktur seperti tsunami hingga gempa di Yogyakarta-Jawa Tengah sebetulnya dapat memperkuat argumen tentang perlunya pengurangan/penghapusan utang. Entah karena segan, tidak berdaya atau karena ketidakmampuan, pemerintah tetap tidak mau mengajukan penghapusan/pengurangan utangnya. (www.atmajaya.ac.id/content.asp dan Kompas 14 Juni 2006)
Utang menempati peran penting dalam Demokrasi dan Kapitalisme
Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi demokrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama amerika, eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam alam demokasi , Utang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkan pemikiran kita bahwa Utang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh indivisu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dan sharih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa didalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.
Konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang.
Lalu kenapa jalan ini yang dipilih untuk pembangunan??? Padahal ini adalah Jerat (konsep utang) dan ribawi.
Dampak Utang Luar Negeri
Pertama, dampak langsung dari utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik.
Kedua, dampak yang paling hakiki dari utang tersebut yaitu hilangnya kemandirian akibat keterbelengguan atas keleluasaan arah pembangunan negeri, oleh si pemberi pinjaman.
Kalau kita simak pengalaman dan sejarah, betapa susahnya kita menentukan arah pembangunan yang di cita-cita negeri ini. Penyebabnya adalah term and condition atau syarat yang ditetapkan oleh di rentenir(negara-negara donor tersebut). Terlihat jelas adanya indikator-indikator baku yang ditetapkan oleh Negera-negara donor, seperti arah pembangunan yang ditentukan. Baik motifnya politis maupun motif ekonomi itu sendiri. Misalnya kita ketahui bahwa di dalam CGI, selama ini Amerika Serikat dan Belanda dikenal sangat vokal saat menekankan sejumlah persyaratan kepada Indonesia. Padahal, jumlah pinjaman yang mereka kucurkan tak banyak, tak sebanding dengan kevokalannya. Sialnya, AS dan Belanda mampu memprovokasi anggota CGI lainnya untuk mengajukan syarat-syarat yang membebani Indonesia. (http://isei.or.id/page.php?id=5des068)
Pada akhirnya arah pembangunan kita memang penuh kompromi dan disetir, membuat Indonesia makin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat negara Donor. Hal ini sangat beralasan karena mereka sendiri harus menjaga, mengawasi dan memastikan bahwa pengembalian dari pinjaman tersebut plus keuntungan atas pinjaman, mampu dikembalikan. Alih-alih untuk memfokuskan pada kesejahteraan rakyat, pada akhirnya adalah konsep tersebut asal jalan pada periode kepemimpinannya, juga makin membuat rakyat terjepit karena mengembalikan pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara yang harusnya untuk dikembalikan kepada rakyat yaitu kekayaan negara hasil bumi dan Pajak.
Bahaya Utang Luar Negeri sebagai Instrument Penjajahan
Pertama, Abdurrahaman al-Maliki mengungkap lima bahaya besar yang jelas-jelas tampak di depan mata (Abdurrahman al-Maliki, op.cit., hal. 200-207, Bab Akhthar al-Qurudh al-Ajnabiyah) yakni; sesungguhnya utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek milik negara adalah hal yang berbahaya terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Akibat lebih jauh adalah membuat masyarakat negara tersebut makin menderita karena ini adalah jalan untuk menjajah suatu negara. Seperti kita mafhum bahwa Mesir dijajah Inggris melalui jalur utang, begitu pula Tunisia di cengkram Perancis melalui jalur yang sama yaitu utang. Begitu pula negara Barat membentangkan hegemoninya terhadap negara Utsmaniyah pada akhir masa kekuasaannya melalui jalur utang. Karena dengan utang yang menumpuk Daulah khilafah Utsmaniyah yang ditakuti oleh Eropa selama 5 abad, sejak sultan Muhammad al-Fatih menaklukan konstantinopel pada tahun 1453, akhirnya menjadi negara yang lemah, tak berdaya (sebutan daulah khilafah kala itu adalah the Sick man-manusia yang sakit). Dimana akibatnya dimanfaatkan oleh Gerakan Zionis International, Dr. Theodore Hertzel pada tahun 1897 menemui Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin agar dapat membangun tempat ziarah Yahudi di Palestina, Yerusalem dengan imbalan Gerakan Zionis International akan melunasi seluruh utang-utang Turki. (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam)
Kalau kita lihat sejarah negara-negara Barat sebelum Perang Dunia I menempuh cara dengan memberikan uang sebagai utang dimana kemudian utang tersebut mereka melakukan intervensi dan kemudian mendudukinya.
Kedua, sebelum hutang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9). Ini jelas berbahaya, karena berarti rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia akan menjadi terkuak dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities) pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat melarat —seperti pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM— yang akhirnya hanya menguntungkan pihak negara-negara donor sementara Indonesia hanya dapat gigit jari saja menelan kepahitan ekonomi.
Ketiga, pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia 2,437 miliar dolar AS. Itu hanya utang pemerintah. Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar. Pada akhir tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Swasta baru mulai mengutang pada tahun 1981. Pada tahun 1998 jumlah utang swasta sudah mencapai 83,557 miliar dollar. Menjelang akhir tahun 2008 sudah mencapai US $ 2.335,8 Miliar.!!!
Keempat, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain, yang kebanyakan negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Maka kemudian Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, yang diketuai oleh Jenderal Lucas Clay, untuk mengkaji masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil kajiannya. Di antara yang termaktub di sana, bahwa tujuan pemberian bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’.” Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer.
Jadi, tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata lain, tujuannya adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk di bawah dominasi AS untuk kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya (Abdurrahman al-Maliki, op.cit., hal. 204-205).
Kelima, utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Utang jangka pendek, berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan keresahan sosial. Sebab bila utang jangka pendek ini jatuh tempo, dengan pembayarannya menggunakan mata uang Dollar yang merupakan hard currency. Maka dari itu, negara penghutang akan kedulitan untuk melunasi hutangnya dengan dolar AS karena mengharuskan penyediaaan mata uang US tersebut, (untuk pembayaran utang Swasta, ini akan berdampak pada keterpaksaan pembelian dolar, dimana dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal). Untuk utang jangka panjang, juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin mencengkram, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara dan membuatnya makin kesulitan dan terpuruk atas utang-utangnya. Disitulah negara-negara Donor makin memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara.
Pandangan Hukum Islam terhadap Utang Luar Negeri
Kalau kita telaah lebih mendalam ada beberapa hal yang menjadikan utang Luar negeri menjadi bathil.
Pertama Utang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba). Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauihnya. Allah SWT berfirman :
وأحل الله البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Qs. al-Baqarah [2]: 275).
Rasulullah Saw bersabda:

الربا ثلثة وسبعون بابا وأيسرها مثل أن يكح الرجل أمه

Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” [HR. Ibnu Majah, hadits No.2275; dan al-Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad yang shahih].
Kedua, terdapat unsur Riba Qaradl, yaitu adanya pinjam meminjam uang dari seseorang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, “Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker¬ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Ketiga utang luar negeri menjadi sarana (wasilah) timbulnya berbagai kemudharatan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, bertambahnya harga-harga kebutuhan pokok dan BBM, dan sebagainya. Semua jenis sarana atau perantaraan yang dapat membawa kemudharatan (dharar) —padahal keberadaannya telah diharamkan— adalah haram. Kaidah syara’ menetapkan:

الوسيلة إلى الحرام محرمة

Segala perantaraan yang membawa kepada yang haram, maka ia diharamkan

Keempat, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis yang kafir dapat mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin. Ini haram dan tidak boleh terjadi. Allah SWT berfirman:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`minin.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 141).
Hukum Syara tentang Utang Luar Negeri
Utang yang terkait dengan individu hukumnya mubah, untuk itu setiap individu boleh berutang kepada siapa saja yang dikehendaki, berapa yang diinginkan baik kepada sesama rakyat maupun kepada orang asing. seperti yang diungkapkan dari hadist :
Dari Rafi’ berkata, Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi saw menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi utang lembu mudanya kepada orang itu. Aku berkata “Aku tidak mendapati pada unta itu selain unta yang ke empat kakinya bagus-bagus. Beliau bersabda berikan saja ia kepadanya, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik ketika melunasi utangnnya.
Hanya saja, apabila utang atau bantuan-bantuan tersebut membawa bahaya maka utang tersebut diharamkan. Hal ini mengacu kepada kaidah :
Apabila terjadi bahaya(kerusakan) akibat bagian diantaranya satuan-satuan yang mubah, maka satuan itu saja yang dilarang.
Adapun berutangnya negara, maka hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara yang urgen dan jika ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kebinasaan, maka ketika itu negara dapat berutang, kemudian orang-orang ditarik pajak dipakai untuk melunasinya. Atau kalau memungkinkan digunakan dari pendapatan negara yang lain. Status negara berutang itu mubah dalam satu keadaan saja, yaitu apabila di baitul mal tidak ada harta, dan kepentingan yang mengharuskan negara hendak berutang adalah termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, dan apabila tertunda/ditunda dapat menimbulkan kerusakan. Inilah dibolehkannya negara berutang, sedangkan untuk kepentingan lainnya mutlak negara tidak boleh berutang.
Untuk proyek infrastruktur, tidak termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, namun termasuk tanggung jawab baitul mal, yaitu termasuk tanggung jawab negara. Oleh karena itu negara tidak boleh berutang demi untuk kepentingan pembangunan proyek baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Sedangkan Untuk pengelolaan dan penanaman modal asing diseluruh negara tidak dibolehkan termasuk larangan memberikan monopoli kepada pihak asing. Larangan seluruh kegiatan tersebut adalah karena aktivitas tersebut terkait langsung atau dapat menghantarkan pada perbuatan yang haram. Baik itu penanaman modal asing melalui bursa saham adalah haram sebab kegiatan dibursa saham adalah haram. Ataupun utang untuk investasi pembangunan. Karena pengelolaan modal dengan jalan utang dari pihak asing juga dilarang sebab terkait dengan aktivitas riba yang diharamkan.
Dengan demikian, utang luar negeri dengan segala bentuknya harus ditolak. Kita tidak lagi berpikir bisakah kita keluar dari jeratan utang atau tidak.
Yang penting dipikirkan justru harus ada upaya riil untuk menghentikan utang luar negeri yang eksploitatif itu.
Pertama, kesadaran akan bahaya utang luar negeri, bahwa utang yang dikucurkan negara-negara kapitalis akan berujung pada kesengsaraan. Selama ini, salah satu penghambat besar untuk keluar dari jerat utang adalah pemahaman yang salah tentang utang luar negeri. Utang luar negeri dianggap sebagai sumber pendapatan, dan oleh karenanya dimasukkan dalam pos pendapatan Negara. Kucuran utang dianggap sebagai bentuk kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah. Sehingga, semakin banyak utang yang dikucurkan, semakin besar pula kepercayaan luar negeri terhadap pemerintahan di sini. Demikian juga pemahaman bahwa pembangunan tidak bisa dilakukan kecuali harus dengan utang luar negeri.
Kedua, keinginan dan tekad kuat untuk mandiri harus ditancapkan sehingga memunculkan ide-ide kreatif yang dapat menyelesaikan berbagai problem kehidupan, termasuk problem ekonomi. Sebaliknya mentalitas ketergantungan pada luar negeri harus dikikis habis.
sejumlah program yang dicanangkan negara donor berpotensi menambah jumlah kaum miskin. Program-program yang diajukan di bidang politik dan ekonomi antara lain : (1) standarisasi Gaji (juga upah buruh) sehingga kenaikannya dibatasi dapat diatur dengan undang-undang. Padahal ini akan kontradiktif dengan daya beli, karena situasi yang mengakibatkan harga membumbung sementara gaji mengalami pelambatan; (2) kebijakan di bidang kesehatan, dimana subsidi dikurangi yang mengakibatkan tarif layanan kesehatan RS milik pemerintah melonjak. Dan mengeluarkan kebijakan kartu miskin mampu menyelesaikan masalah, padahal masalah sebenarnya ada pada kum marginal, dimana tidak termasuk golongan masyarakat miskin; (3)Adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, yang mengakibatkan biaya pendidikan Perguruan Tinggi makin mahal dan makin tidak terjangka masyarakat miskin dan marginal; (4) Subsidi BBM harus dihilangkan; (5) Merosotnya nilai mata uang. Kondisi ini akan menyebabkan ekspor besar-besaran dan menurunnya konsumsi dalam negeri. Pasar dalam negeri akan mengalami kelangkaan barang akibat ekspor berlebihan. Langkanya barang, jelas dapat melambungkan harga; (6) Liberalisasi ekonomi terhadap pihak luar negeri. Kebijakan ini akan memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk melebarkan sayapnya di sini. Akibatnya, bukan saja keuntungan besar yang mengalir ke luar negeri, namun juga dapat mematikan perusahaan lokal. Tentu saja hal ini akan dapat memancing kerusuhan sosial yang ujung-ujungnya akan membuat rakyat menderita. Apalagi dalam penerapan kebijakan pemerintah ini, tak jarang dibarengi dengan politik represif atau kekuatan militer yang kejam (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 99).
Ketiga, menekan segala bentuk pemborosan negara, baik oleh korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat, yang bisa menyebabkan defisit anggaran. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, dan semakin menimbulkan kesenjangan sosial harus dihentikan.
Keempat, melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian dan ketahanan pangan. Dengan membangun sector pertanian khususnya produk-produk pertanian seperti beras, kacang, kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan perikanan yang masuk sembako. Dan memberdayakan lahan maupun barang milik negara dan umum (kaum muslimin) seperti laut, gunung, hutan, pantai, sungai, danau, pertambangan, emas, minyak, timah, tembaga, nikel, gas alam, batu bara dll.
Kelima, mengatur ekspor dan impor yang akan memperkuat ekonomi dalam negeri dengan memutuskan import atas barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri dan membatasi import dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi. Serta memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat Imperialis.
Namun semua upaya ini hanya akan dapat berhasil dengan gemilang, tidak akan dapat mengantarkan umat menuju puncak keridhaan Allah SWT yang abadi, selain dengan menegakkan risalah Islam secara total dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyah yang bertanggung jawab menegakkan risalah Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok dunia.
Wallah a’lam bi al-shawab.
(Arif Adiningrat – Lajnah Tsaqafiyyah).

Tugas 3

1. Jelaskan dengan singkat mengenai:

a. Neraca Pembayaran:
Neraca pembayaran merupakan suatu ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial. Umumnya neraca pembayaran terbagi atas neraca transaksi berjalan dan neraca lalu lintas modal dan finansial, dan item-item finansial.

b. Modal Asing: Modal yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara bekerja di dalam perusahaan, dan bagi perusahaan yang bersangkutan modal tersebut merupakan utang yang pada saatnya harus dibayar kembali.

c. Hutang Luar Negeri: Sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

2. Sebutkan dan jelaskan manfaat modal asing!
Penanaman  modal asing sangat berperan penting  dalam proses pembangunan ekonomi negara-negara maju dan berkembang.  Lalu lintas modal asing antar negara dan antar lokalitas didunia tersebut akan berlalu-lalang mengikuti dinamika perkembangan Perusahaan-perusahaan lintas nasional dan Perusahaan global  yang dipermudah dengan globalisasi dan temuan tekhnologi.
Bersama-sama dengan investasi domestik dan investasi masyarakat, penanaman modal asing masih merupakan pilihan strategik untuk memanfaatkan momentum kebangkitan perekonomian Indonesia di masa datang.

3. Sebutkan dan jelaskan dampak hutang luar negeri terhadap pembangunan di Indonesia!
Pertama, dampak langsung dari utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik.
Kedua, dampak yang paling hakiki dari utang tersebut yaitu hilangnya kemandirian akibat keterbelengguan atas keleluasaan arah pembangunan negeri, oleh si pemberi pinjaman.
Kalau kita simak pengalaman dan sejarah, betapa susahnya kita menentukan arah pembangunan yang di cita-cita negeri ini. Penyebabnya adalah term and condition atau syarat yang ditetapkan oleh di rentenir(negara-negara donor tersebut). Terlihat jelas adanya indikator-indikator baku yang ditetapkan oleh Negera-negara donor, seperti arah pembangunan yang ditentukan. Baik motifnya politis maupun motif ekonomi itu sendiri. Misalnya kita ketahui bahwa di dalam CGI, selama ini Amerika Serikat dan Belanda dikenal sangat vokal saat menekankan sejumlah persyaratan kepada Indonesia. Padahal, jumlah pinjaman yang mereka kucurkan tak banyak, tak sebanding dengan kevokalannya. Sialnya, AS dan Belanda mampu memprovokasi anggota CGI lainnya untuk mengajukan syarat-syarat yang membebani Indonesia. (http://isei.or.id/page.php?id=5des068)
Pada akhirnya arah pembangunan kita memang penuh kompromi dan disetir, membuat Indonesia makin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat negara Donor. Hal ini sangat beralasan karena mereka sendiri harus menjaga, mengawasi dan memastikan bahwa pengembalian dari pinjaman tersebut plus keuntungan atas pinjaman, mampu dikembalikan. Alih-alih untuk memfokuskan pada kesejahteraan rakyat, pada akhirnya adalah konsep tersebut asal jalan pada periode kepemimpinannya, juga makin membuat rakyat terjepit karena mengembalikan pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara yang harusnya untuk dikembalikan kepada rakyat yaitu kekayaan negara hasil bumi dan Pajak.

Sumber:
www.informasitraining.net/tag/penanaman-modal-asing/
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/01/21/utang-luar-negeri-fakta-bahaya-dan-tinjauan-hukum-syara/