HTI-Press. Memasuki pertengahan semester kedua tahun 2008 utang luar negeri Indonesia meningkat US$ 2,335 miliar. salah satu dampak penammbahan signifikian akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap tiga valuta asing utama, yakni yen Jepang, dollar AS, dan euro!!! (Bulan juni 2008 utang luar negeri Indonesia masih 1,780 Milyar Dollar). (Kompas, Senin 24 November 2008) Cicilan yang harus dibayar tahun 2009 sebesar US$22 milyar, artinya tahun 2009 Negera kita harus mengeluarkan Rp 250 triliun. Terdiri dari, utang pemerintah US$ 9 miliar dan utang luar negeri (LN) swasta US$ 13 miliar. Di antara utang pemerintah itu, uang LN yang jatuh tempo pada 2009 senilai Rp 59 triliun. Sedangkan cadangan devisa kita hanya $50miliar. (Kompas, Senin 24 November 2008)
Cicilan tahun 2009 tersebut kalau kita komparasikan dengan jumlah penduduk Indonesia (± 230juta jiwa) maka total cicilan yang harus dibayar tahun 2009 adalah Rp. 1,086,000/jiwa penduduk. Bandingkan dengan UMR DKI Jakarta tahun adalah RP. 1,069,865. Akan tetapi kalau kita mau melunasi utang kita tiap penduduk kita harus membayar 106juta/jiwa penduduk.
Dengan total utang 2,335 milyar Dollar Perlu kita ketahui dengan tingkat bunga sekitar 5%, jumlah bunga yang harus kita bayarkan berkisar 116,7 milyar Dollar.!!! Seandainya kita mengasumbikan tiap hari seorang penduduk Indonesia untuk makan tiap hari mengeluarkan biaya Rp 15 ribu rupiah sekali makan dan 3 kali makan dalam sehari (Rp. 45,000). Maka untuk bunganya saja dari utang kita dalam setahun sangat mencukupi untuk makan penduduk Indonesia sebanyak 71, juta jiwa selama setahun!!!!
Sampai saat ini kita tidak melihat adanya usaha yang serius dari pemerintah Indonesia untuk berinisiatif mendesak negara-negara Donor, sekalipun hanya untuk merumuskan proposal pengurangan/penghapusan utang. Dalam tiga tahun kebelakang ada beberapa kesempatan resmi untuk hal tersebut, misalnya saat UN Millennium+5 Summit bulan September 2005 di New York, KTT D-8 pada Mei 2006 di Bali, atau yang terbaru pertemuan G20 di Brasil Awal November 2008.
Padahal pemerintah juga punya alasan yang sangat baik untuk pengurangan/penghapusan utang seperti Bencana alam yang menelan korban dan kerusakan infrastruktur seperti tsunami hingga gempa di Yogyakarta-Jawa Tengah sebetulnya dapat memperkuat argumen tentang perlunya pengurangan/penghapusan utang. Entah karena segan, tidak berdaya atau karena ketidakmampuan, pemerintah tetap tidak mau mengajukan penghapusan/pengurangan utangnya. (www.atmajaya.ac.id/content.asp dan Kompas 14 Juni 2006) Utang menempati peran penting dalam Demokrasi dan Kapitalisme
Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi demokrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama amerika, eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam alam demokasi , Utang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkan pemikiran kita bahwa Utang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh indivisu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dan sharih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa didalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.
Konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang.
Lalu kenapa jalan ini yang dipilih untuk pembangunan??? Padahal ini adalah Jerat (konsep utang) dan ribawi.
Dampak Utang Luar Negeri
Pertama, dampak langsung dari utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik.
Kedua, dampak yang paling hakiki dari utang tersebut yaitu hilangnya kemandirian akibat keterbelengguan atas keleluasaan arah pembangunan negeri, oleh si pemberi pinjaman.
Kalau kita simak pengalaman dan sejarah, betapa susahnya kita menentukan arah pembangunan yang di cita-cita negeri ini. Penyebabnya adalah term and condition atau syarat yang ditetapkan oleh di rentenir(negara-negara donor tersebut). Terlihat jelas adanya indikator-indikator baku yang ditetapkan oleh Negera-negara donor, seperti arah pembangunan yang ditentukan. Baik motifnya politis maupun motif ekonomi itu sendiri. Misalnya kita ketahui bahwa di dalam CGI, selama ini Amerika Serikat dan Belanda dikenal sangat vokal saat menekankan sejumlah persyaratan kepada Indonesia. Padahal, jumlah pinjaman yang mereka kucurkan tak banyak, tak sebanding dengan kevokalannya. Sialnya, AS dan Belanda mampu memprovokasi anggota CGI lainnya untuk mengajukan syarat-syarat yang membebani Indonesia. (http://isei.or.id/page.php?id=5des068)
Pada akhirnya arah pembangunan kita memang penuh kompromi dan disetir, membuat Indonesia makin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat negara Donor. Hal ini sangat beralasan karena mereka sendiri harus menjaga, mengawasi dan memastikan bahwa pengembalian dari pinjaman tersebut plus keuntungan atas pinjaman, mampu dikembalikan. Alih-alih untuk memfokuskan pada kesejahteraan rakyat, pada akhirnya adalah konsep tersebut asal jalan pada periode kepemimpinannya, juga makin membuat rakyat terjepit karena mengembalikan pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara yang harusnya untuk dikembalikan kepada rakyat yaitu kekayaan negara hasil bumi dan Pajak.
Bahaya Utang Luar Negeri sebagai Instrument Penjajahan
Pertama, Abdurrahaman al-Maliki mengungkap lima bahaya besar yang jelas-jelas tampak di depan mata (Abdurrahman al-Maliki, op.cit., hal. 200-207, Bab Akhthar al-Qurudh al-Ajnabiyah) yakni; sesungguhnya utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek milik negara adalah hal yang berbahaya terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Akibat lebih jauh adalah membuat masyarakat negara tersebut makin menderita karena ini adalah jalan untuk menjajah suatu negara. Seperti kita mafhum bahwa Mesir dijajah Inggris melalui jalur utang, begitu pula Tunisia di cengkram Perancis melalui jalur yang sama yaitu utang. Begitu pula negara Barat membentangkan hegemoninya terhadap negara Utsmaniyah pada akhir masa kekuasaannya melalui jalur utang. Karena dengan utang yang menumpuk Daulah khilafah Utsmaniyah yang ditakuti oleh Eropa selama 5 abad, sejak sultan Muhammad al-Fatih menaklukan konstantinopel pada tahun 1453, akhirnya menjadi negara yang lemah, tak berdaya (sebutan daulah khilafah kala itu adalah the Sick man-manusia yang sakit). Dimana akibatnya dimanfaatkan oleh Gerakan Zionis International, Dr. Theodore Hertzel pada tahun 1897 menemui Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin agar dapat membangun tempat ziarah Yahudi di Palestina, Yerusalem dengan imbalan Gerakan Zionis International akan melunasi seluruh utang-utang Turki. (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam)
Kalau kita lihat sejarah negara-negara Barat sebelum Perang Dunia I menempuh cara dengan memberikan uang sebagai utang dimana kemudian utang tersebut mereka melakukan intervensi dan kemudian mendudukinya.
Kedua, sebelum hutang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9). Ini jelas berbahaya, karena berarti rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia akan menjadi terkuak dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities) pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat melarat —seperti pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM— yang akhirnya hanya menguntungkan pihak negara-negara donor sementara Indonesia hanya dapat gigit jari saja menelan kepahitan ekonomi.
Ketiga, pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia 2,437 miliar dolar AS. Itu hanya utang pemerintah. Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar. Pada akhir tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Swasta baru mulai mengutang pada tahun 1981. Pada tahun 1998 jumlah utang swasta sudah mencapai 83,557 miliar dollar. Menjelang akhir tahun 2008 sudah mencapai US $ 2.335,8 Miliar.!!!
Keempat, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain, yang kebanyakan negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Maka kemudian Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, yang diketuai oleh Jenderal Lucas Clay, untuk mengkaji masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil kajiannya. Di antara yang termaktub di sana, bahwa tujuan pemberian bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’.” Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer.
Jadi, tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata lain, tujuannya adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk di bawah dominasi AS untuk kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya (Abdurrahman al-Maliki, op.cit., hal. 204-205).
Kelima, utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Utang jangka pendek, berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan keresahan sosial. Sebab bila utang jangka pendek ini jatuh tempo, dengan pembayarannya menggunakan mata uang Dollar yang merupakan hard currency. Maka dari itu, negara penghutang akan kedulitan untuk melunasi hutangnya dengan dolar AS karena mengharuskan penyediaaan mata uang US tersebut, (untuk pembayaran utang Swasta, ini akan berdampak pada keterpaksaan pembelian dolar, dimana dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal). Untuk utang jangka panjang, juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin mencengkram, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara dan membuatnya makin kesulitan dan terpuruk atas utang-utangnya. Disitulah negara-negara Donor makin memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara.
Pandangan Hukum Islam terhadap Utang Luar Negeri
Kalau kita telaah lebih mendalam ada beberapa hal yang menjadikan utang Luar negeri menjadi bathil.
Pertama Utang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba). Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauihnya. Allah SWT berfirman :
وأحل الله البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Qs. al-Baqarah [2]: 275).
Rasulullah Saw bersabda:
الربا ثلثة وسبعون بابا وأيسرها مثل أن يكح الرجل أمه
Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” [HR. Ibnu Majah, hadits No.2275; dan al-Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad yang shahih].
Kedua, terdapat unsur Riba Qaradl, yaitu adanya pinjam meminjam uang dari seseorang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, “Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker¬ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Ketiga utang luar negeri menjadi sarana (wasilah) timbulnya berbagai kemudharatan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, bertambahnya harga-harga kebutuhan pokok dan BBM, dan sebagainya. Semua jenis sarana atau perantaraan yang dapat membawa kemudharatan (dharar) —padahal keberadaannya telah diharamkan— adalah haram. Kaidah syara’ menetapkan:
الوسيلة إلى الحرام محرمة
Segala perantaraan yang membawa kepada yang haram, maka ia diharamkan
Keempat, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis yang kafir dapat mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin. Ini haram dan tidak boleh terjadi. Allah SWT berfirman:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`minin.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 141).
Hukum Syara tentang Utang Luar Negeri
Utang yang terkait dengan individu hukumnya mubah, untuk itu setiap individu boleh berutang kepada siapa saja yang dikehendaki, berapa yang diinginkan baik kepada sesama rakyat maupun kepada orang asing. seperti yang diungkapkan dari hadist :
Dari Rafi’ berkata, Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi saw menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi utang lembu mudanya kepada orang itu. Aku berkata “Aku tidak mendapati pada unta itu selain unta yang ke empat kakinya bagus-bagus. Beliau bersabda berikan saja ia kepadanya, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik ketika melunasi utangnnya.
Hanya saja, apabila utang atau bantuan-bantuan tersebut membawa bahaya maka utang tersebut diharamkan. Hal ini mengacu kepada kaidah :
Apabila terjadi bahaya(kerusakan) akibat bagian diantaranya satuan-satuan yang mubah, maka satuan itu saja yang dilarang.
Adapun berutangnya negara, maka hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara yang urgen dan jika ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kebinasaan, maka ketika itu negara dapat berutang, kemudian orang-orang ditarik pajak dipakai untuk melunasinya. Atau kalau memungkinkan digunakan dari pendapatan negara yang lain. Status negara berutang itu mubah dalam satu keadaan saja, yaitu apabila di baitul mal tidak ada harta, dan kepentingan yang mengharuskan negara hendak berutang adalah termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, dan apabila tertunda/ditunda dapat menimbulkan kerusakan. Inilah dibolehkannya negara berutang, sedangkan untuk kepentingan lainnya mutlak negara tidak boleh berutang.
Untuk proyek infrastruktur, tidak termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, namun termasuk tanggung jawab baitul mal, yaitu termasuk tanggung jawab negara. Oleh karena itu negara tidak boleh berutang demi untuk kepentingan pembangunan proyek baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Sedangkan Untuk pengelolaan dan penanaman modal asing diseluruh negara tidak dibolehkan termasuk larangan memberikan monopoli kepada pihak asing. Larangan seluruh kegiatan tersebut adalah karena aktivitas tersebut terkait langsung atau dapat menghantarkan pada perbuatan yang haram. Baik itu penanaman modal asing melalui bursa saham adalah haram sebab kegiatan dibursa saham adalah haram. Ataupun utang untuk investasi pembangunan. Karena pengelolaan modal dengan jalan utang dari pihak asing juga dilarang sebab terkait dengan aktivitas riba yang diharamkan.
Dengan demikian, utang luar negeri dengan segala bentuknya harus ditolak. Kita tidak lagi berpikir bisakah kita keluar dari jeratan utang atau tidak.
Yang penting dipikirkan justru harus ada upaya riil untuk menghentikan utang luar negeri yang eksploitatif itu.
Pertama, kesadaran akan bahaya utang luar negeri, bahwa utang yang dikucurkan negara-negara kapitalis akan berujung pada kesengsaraan. Selama ini, salah satu penghambat besar untuk keluar dari jerat utang adalah pemahaman yang salah tentang utang luar negeri. Utang luar negeri dianggap sebagai sumber pendapatan, dan oleh karenanya dimasukkan dalam pos pendapatan Negara. Kucuran utang dianggap sebagai bentuk kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah. Sehingga, semakin banyak utang yang dikucurkan, semakin besar pula kepercayaan luar negeri terhadap pemerintahan di sini. Demikian juga pemahaman bahwa pembangunan tidak bisa dilakukan kecuali harus dengan utang luar negeri.
Kedua, keinginan dan tekad kuat untuk mandiri harus ditancapkan sehingga memunculkan ide-ide kreatif yang dapat menyelesaikan berbagai problem kehidupan, termasuk problem ekonomi. Sebaliknya mentalitas ketergantungan pada luar negeri harus dikikis habis.
sejumlah program yang dicanangkan negara donor berpotensi menambah jumlah kaum miskin. Program-program yang diajukan di bidang politik dan ekonomi antara lain : (1) standarisasi Gaji (juga upah buruh) sehingga kenaikannya dibatasi dapat diatur dengan undang-undang. Padahal ini akan kontradiktif dengan daya beli, karena situasi yang mengakibatkan harga membumbung sementara gaji mengalami pelambatan; (2) kebijakan di bidang kesehatan, dimana subsidi dikurangi yang mengakibatkan tarif layanan kesehatan RS milik pemerintah melonjak. Dan mengeluarkan kebijakan kartu miskin mampu menyelesaikan masalah, padahal masalah sebenarnya ada pada kum marginal, dimana tidak termasuk golongan masyarakat miskin; (3)Adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, yang mengakibatkan biaya pendidikan Perguruan Tinggi makin mahal dan makin tidak terjangka masyarakat miskin dan marginal; (4) Subsidi BBM harus dihilangkan; (5) Merosotnya nilai mata uang. Kondisi ini akan menyebabkan ekspor besar-besaran dan menurunnya konsumsi dalam negeri. Pasar dalam negeri akan mengalami kelangkaan barang akibat ekspor berlebihan. Langkanya barang, jelas dapat melambungkan harga; (6) Liberalisasi ekonomi terhadap pihak luar negeri. Kebijakan ini akan memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk melebarkan sayapnya di sini. Akibatnya, bukan saja keuntungan besar yang mengalir ke luar negeri, namun juga dapat mematikan perusahaan lokal. Tentu saja hal ini akan dapat memancing kerusuhan sosial yang ujung-ujungnya akan membuat rakyat menderita. Apalagi dalam penerapan kebijakan pemerintah ini, tak jarang dibarengi dengan politik represif atau kekuatan militer yang kejam (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 99).
Ketiga, menekan segala bentuk pemborosan negara, baik oleh korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat, yang bisa menyebabkan defisit anggaran. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, dan semakin menimbulkan kesenjangan sosial harus dihentikan.
Keempat, melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian dan ketahanan pangan. Dengan membangun sector pertanian khususnya produk-produk pertanian seperti beras, kacang, kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan perikanan yang masuk sembako. Dan memberdayakan lahan maupun barang milik negara dan umum (kaum muslimin) seperti laut, gunung, hutan, pantai, sungai, danau, pertambangan, emas, minyak, timah, tembaga, nikel, gas alam, batu bara dll.
Kelima, mengatur ekspor dan impor yang akan memperkuat ekonomi dalam negeri dengan memutuskan import atas barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri dan membatasi import dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi. Serta memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat Imperialis.
Namun semua upaya ini hanya akan dapat berhasil dengan gemilang, tidak akan dapat mengantarkan umat menuju puncak keridhaan Allah SWT yang abadi, selain dengan menegakkan risalah Islam secara total dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyah yang bertanggung jawab menegakkan risalah Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok dunia.
Wallah a’lam bi al-shawab.
(Arif Adiningrat – Lajnah Tsaqafiyyah).