 HTI-Press. Memasuki  pertengahan semester kedua tahun 2008 utang luar negeri Indonesia  meningkat US$ 2,335 miliar. salah satu dampak penammbahan signifikian  akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap tiga valuta asing utama,  yakni yen Jepang, dollar AS, dan euro!!! (Bulan juni 2008 utang luar  negeri Indonesia masih 1,780 Milyar Dollar). (Kompas, Senin 24 November  2008)
HTI-Press. Memasuki  pertengahan semester kedua tahun 2008 utang luar negeri Indonesia  meningkat US$ 2,335 miliar. salah satu dampak penammbahan signifikian  akibat fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap tiga valuta asing utama,  yakni yen Jepang, dollar AS, dan euro!!! (Bulan juni 2008 utang luar  negeri Indonesia masih 1,780 Milyar Dollar). (Kompas, Senin 24 November  2008) Cicilan  yang harus dibayar tahun 2009 sebesar US$22 milyar, artinya tahun 2009  Negera kita harus mengeluarkan Rp 250 triliun. Terdiri dari, utang  pemerintah US$ 9 miliar dan utang luar negeri (LN) swasta US$ 13 miliar.  Di antara utang pemerintah itu, uang LN yang jatuh tempo pada 2009  senilai Rp 59 triliun. Sedangkan cadangan devisa kita hanya $50miliar.  (Kompas, Senin 24 November 2008)
Cicilan  tahun 2009 tersebut kalau kita komparasikan dengan jumlah penduduk  Indonesia (± 230juta jiwa) maka total cicilan yang harus dibayar tahun  2009 adalah Rp. 1,086,000/jiwa penduduk. Bandingkan dengan  UMR DKI Jakarta tahun adalah RP. 1,069,865. Akan tetapi kalau kita mau  melunasi utang kita tiap penduduk kita harus membayar 106juta/jiwa  penduduk. 
Dengan  total utang 2,335 milyar Dollar Perlu kita ketahui dengan tingkat bunga  sekitar 5%, jumlah bunga yang harus kita bayarkan berkisar 116,7 milyar  Dollar.!!! Seandainya kita mengasumbikan tiap hari seorang  penduduk Indonesia untuk makan tiap hari mengeluarkan biaya Rp 15 ribu  rupiah sekali makan dan 3 kali makan dalam sehari (Rp. 45,000). Maka  untuk bunganya saja dari utang kita dalam setahun sangat mencukupi untuk  makan penduduk Indonesia sebanyak 71, juta jiwa selama setahun!!!!
Sampai saat ini kita tidak melihat adanya usaha yang serius dari pemerintah Indonesia untuk  berinisiatif  mendesak negara-negara Donor, sekalipun hanya untuk merumuskan proposal  pengurangan/penghapusan utang. Dalam tiga tahun kebelakang  ada beberapa kesempatan resmi untuk hal tersebut, misalnya saat UN  Millennium+5 Summit bulan September 2005 di New York, KTT D-8 pada Mei  2006 di Bali, atau yang terbaru pertemuan G20 di Brasil Awal November  2008. 
Padahal pemerintah juga punya alasan yang sangat baik untuk pengurangan/penghapusan utang seperti  Bencana  alam yang menelan korban dan kerusakan infrastruktur seperti tsunami  hingga gempa di Yogyakarta-Jawa Tengah sebetulnya dapat memperkuat  argumen tentang perlunya pengurangan/penghapusan utang. Entah karena  segan, tidak berdaya atau karena ketidakmampuan, pemerintah tetap tidak  mau mengajukan penghapusan/pengurangan utangnya. (www.atmajaya.ac.id/content.asp dan Kompas 14 Juni 2006) Utang menempati peran penting dalam Demokrasi dan Kapitalisme 
Kalau  kita telaah lebih mendalam, ideologi demokrasi dengan kapitalisme  sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama amerika, eropa  dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini.  Karena dalam alam demokasi , Utang telah menempati peran penting melalui  mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita  pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah  diarahkan dan dibenamkan pemikiran kita bahwa Utang mengambil peranan  yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk  memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh  indivisu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dan  sharih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa didalamnya  mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah. 
Konsep  tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun  perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana  ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk  mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau  kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor  perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan  ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk  mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjang atau utang piutang. 
Lalu kenapa jalan ini yang dipilih untuk pembangunan??? Padahal ini adalah Jerat (konsep utang) dan ribawi.
Dampak Utang Luar Negeri
Pertama, dampak langsung dari utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik. 
Kedua,  dampak yang paling hakiki dari utang tersebut yaitu hilangnya  kemandirian akibat keterbelengguan atas keleluasaan arah pembangunan  negeri, oleh si pemberi pinjaman.
Kalau  kita simak pengalaman dan sejarah, betapa susahnya kita menentukan arah  pembangunan yang di cita-cita negeri ini. Penyebabnya adalah term and condition  atau syarat yang ditetapkan oleh di rentenir(negara-negara donor  tersebut). Terlihat jelas adanya indikator-indikator baku yang  ditetapkan oleh Negera-negara donor, seperti arah pembangunan yang  ditentukan. Baik motifnya politis maupun motif ekonomi itu sendiri.  Misalnya kita ketahui bahwa di dalam CGI, selama ini Amerika Serikat dan  Belanda dikenal sangat vokal saat menekankan sejumlah persyaratan  kepada Indonesia. Padahal, jumlah pinjaman yang mereka kucurkan tak  banyak, tak sebanding dengan kevokalannya. Sialnya, AS dan Belanda mampu  memprovokasi anggota CGI lainnya untuk mengajukan syarat-syarat yang  membebani Indonesia. (http://isei.or.id/page.php?id=5des068)
Pada  akhirnya arah pembangunan kita memang penuh kompromi dan disetir,  membuat Indonesia makin terjepit dan terbelenggu dalam  kebijakan-kebijakan yang dibuat negara Donor. Hal ini sangat beralasan  karena mereka sendiri harus menjaga, mengawasi dan memastikan bahwa  pengembalian dari pinjaman tersebut plus keuntungan atas pinjaman, mampu  dikembalikan. Alih-alih untuk memfokuskan pada kesejahteraan rakyat,  pada akhirnya adalah konsep tersebut asal jalan pada periode  kepemimpinannya, juga makin membuat rakyat terjepit karena mengembalikan  pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara yang harusnya untuk  dikembalikan kepada rakyat yaitu kekayaan negara hasil bumi dan Pajak. 
Bahaya Utang Luar Negeri sebagai Instrument Penjajahan
Pertama,  Abdurrahaman al-Maliki mengungkap lima bahaya besar yang jelas-jelas  tampak di depan mata (Abdurrahman al-Maliki, op.cit., hal. 200-207, Bab Akhthar al-Qurudh al-Ajnabiyah) yakni;  sesungguhnya utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek milik  negara adalah hal yang berbahaya terutama terhadap eksistensi negara itu  sendiri. Akibat lebih jauh adalah membuat masyarakat negara tersebut  makin menderita karena ini adalah jalan untuk menjajah suatu negara.  Seperti kita mafhum bahwa Mesir dijajah Inggris melalui jalur utang,  begitu pula Tunisia di cengkram Perancis melalui jalur yang sama yaitu  utang. Begitu pula negara Barat membentangkan hegemoninya terhadap  negara Utsmaniyah pada akhir masa kekuasaannya melalui jalur utang.  Karena dengan utang yang menumpuk Daulah khilafah Utsmaniyah yang  ditakuti oleh Eropa selama 5 abad, sejak sultan Muhammad al-Fatih  menaklukan konstantinopel pada tahun 1453, akhirnya menjadi negara yang  lemah, tak berdaya (sebutan daulah khilafah kala itu adalah the Sick man-manusia  yang sakit). Dimana akibatnya dimanfaatkan oleh Gerakan Zionis  International, Dr. Theodore Hertzel pada tahun 1897 menemui Sultan Abdul  Hamid II untuk meminta izin agar dapat membangun tempat ziarah Yahudi  di Palestina, Yerusalem dengan imbalan Gerakan Zionis International akan  melunasi seluruh utang-utang Turki. (Abdurrahman al-Maliki, Politik  Ekonomi Islam) 
Kalau  kita lihat sejarah negara-negara Barat sebelum Perang Dunia I menempuh  cara dengan memberikan uang sebagai utang dimana kemudian utang tersebut  mereka melakukan intervensi dan kemudian mendudukinya.
Kedua,  sebelum hutang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui  kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara  mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia  kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan  konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, sejumlah  pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua  lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent  (LoI) (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9). Ini jelas  berbahaya, karena berarti rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi  Indonesia akan menjadi terkuak dan sekaligus dapat dijadikan sebagai  dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities) pemberian  pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat melarat —seperti pemotongan  subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM— yang akhirnya hanya menguntungkan  pihak negara-negara donor sementara Indonesia hanya dapat gigit jari  saja menelan kepahitan ekonomi. 
Ketiga,  pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin,  tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke  waktu. Pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar  negeri Indonesia 2,437 miliar dolar AS. Itu hanya utang pemerintah.  Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan  Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar. Pada akhir  tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Swasta baru mulai  mengutang pada tahun 1981. Pada tahun 1998 jumlah utang swasta sudah  mencapai 83,557 miliar dollar. Menjelang akhir tahun 2008  sudah mencapai US $ 2.335,8 Miliar.!!!
Keempat, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi)  negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain, yang  kebanyakan negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik,  ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi utang bukanlah  untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan,  dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang  sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka.  Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar  negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan  mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada  akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar  bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Maka kemudian Kennedy  membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, yang  diketuai oleh Jenderal Lucas Clay, untuk mengkaji masalah ini. Pada  minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil  kajiannya. Di antara yang termaktub di sana, bahwa tujuan pemberian  bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah  “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia  Bebas’.” Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun  militer. 
Jadi,  tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk  membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga  keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata  lain, tujuannya adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk  di bawah dominasi AS untuk kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat  untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya  (Abdurrahman al-Maliki, op.cit., hal. 204-205). 
Kelima,  utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor  keuangan (moneter) negara pengutang. Utang jangka pendek, berbahaya  karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat  memicu kekacauan ekonomi dan keresahan sosial. Sebab bila utang jangka  pendek ini jatuh tempo, dengan pembayarannya menggunakan mata uang  Dollar yang merupakan hard currency. Maka dari itu, negara penghutang  akan kedulitan untuk melunasi hutangnya dengan dolar AS karena  mengharuskan penyediaaan mata uang US tersebut, (untuk pembayaran utang  Swasta, ini akan berdampak pada keterpaksaan pembelian  dolar, dimana dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap  mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata  uang lokal). Untuk utang jangka panjang,  juga berbahaya  karena makin lama jumlahnya semakin mencengkram, yang akhirnya akan  dapat melemahkan anggaran belanja negara dan membuatnya makin kesulitan  dan terpuruk atas utang-utangnya. Disitulah  negara-negara Donor makin memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara. 
Pandangan Hukum Islam terhadap Utang Luar Negeri
 
Kalau kita telaah lebih mendalam ada beberapa hal yang menjadikan utang Luar negeri menjadi bathil. 
Pertama Utang luar negeri tidak  dapat dilepaskan dari bunga (riba). Padahal Islam dengan tegas telah  mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh  kaum muslimin dengan sejauh-jauihnya. Allah SWT berfirman :
وأحل الله البيع وحرم الربا
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Qs. al-Baqarah [2]: 275).
Rasulullah Saw bersabda:
الربا ثلثة وسبعون بابا وأيسرها مثل أن يكح الرجل أمه
Riba  itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari  macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi  (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” [HR. Ibnu Majah, hadits No.2275; dan al-Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad yang shahih].
 
Kedua, terdapat unsur Riba Qaradl, yaitu adanya pinjam meminjam uang dari seseorang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam  Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia  berkata, “Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa  dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku:  ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba  telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang  lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker¬ing, gandum atau  makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut  adalah riba”. [HR. Imam Bukhari] 
Juga,  Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari  Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan  pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari  yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits  di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada  pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam  menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih  dilarang lagi.
 
Ketiga  utang luar negeri menjadi sarana (wasilah) timbulnya berbagai  kemudharatan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, bertambahnya  harga-harga kebutuhan pokok dan BBM, dan sebagainya. Semua jenis sarana  atau perantaraan yang dapat membawa kemudharatan (dharar) —padahal  keberadaannya telah diharamkan— adalah haram. Kaidah syara’ menetapkan:
الوسيلة إلى الحرام محرمة
Segala perantaraan yang membawa kepada yang haram, maka ia diharamkan
 
Keempat,  bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis yang kafir  dapat mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin. Ini haram dan tidak boleh terjadi. Allah SWT berfirman:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`minin.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 141).
Hukum Syara tentang Utang Luar Negeri
 
Utang  yang terkait dengan individu hukumnya mubah, untuk itu setiap individu  boleh berutang kepada siapa saja yang dikehendaki, berapa yang  diinginkan baik kepada sesama rakyat maupun kepada orang asing. seperti  yang diungkapkan dari hadist :
Dari Rafi’ berkata, Nabi saw meminjam lembu muda, kemudian Nabi saw menerima unta yang bagus, lalu beliau menyuruhku melunasi utang lembu mudanya kepada orang itu. Aku berkata “Aku tidak mendapati pada unta itu selain unta yang ke empat kakinya bagus-bagus. Beliau bersabda berikan saja ia kepadanya, sebab sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling baik ketika melunasi utangnnya.
Hanya  saja, apabila utang atau bantuan-bantuan tersebut membawa bahaya maka  utang tersebut diharamkan. Hal ini mengacu kepada kaidah :
Apabila terjadi bahaya(kerusakan) akibat bagian diantaranya satuan-satuan yang mubah, maka satuan itu saja yang dilarang.
Adapun berutangnya negara, maka hal itu  seharusnya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara yang  urgen dan jika ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan atau  kebinasaan, maka ketika itu negara dapat berutang, kemudian orang-orang  ditarik pajak dipakai untuk melunasinya. Atau kalau memungkinkan  digunakan dari pendapatan negara yang lain. Status negara berutang itu  mubah dalam satu keadaan saja, yaitu apabila di baitul mal tidak ada  harta, dan kepentingan yang mengharuskan negara hendak berutang adalah  termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, dan apabila  tertunda/ditunda dapat menimbulkan kerusakan. Inilah dibolehkannya  negara berutang, sedangkan untuk kepentingan lainnya mutlak negara tidak  boleh berutang.
Untuk proyek infrastruktur, tidak termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab kaum muslimin, namun termasuk tanggung  jawab baitul mal, yaitu termasuk tanggung jawab negara. Oleh karena itu  negara tidak boleh berutang demi untuk kepentingan pembangunan proyek  baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Sedangkan  Untuk pengelolaan dan penanaman modal asing diseluruh negara tidak  dibolehkan termasuk larangan memberikan monopoli kepada pihak asing.  Larangan seluruh kegiatan tersebut adalah karena aktivitas tersebut  terkait langsung atau dapat menghantarkan pada perbuatan yang haram.  Baik itu penanaman modal asing melalui bursa saham adalah haram sebab  kegiatan dibursa saham adalah haram. Ataupun utang untuk investasi  pembangunan. Karena pengelolaan modal dengan jalan utang dari pihak  asing juga dilarang sebab terkait dengan aktivitas riba yang diharamkan.
Dengan  demikian, utang luar negeri dengan segala bentuknya harus ditolak. Kita  tidak lagi berpikir bisakah kita keluar dari jeratan utang atau tidak. 
Yang penting dipikirkan justru harus ada upaya riil untuk menghentikan utang luar negeri yang eksploitatif itu. 
Pertama,  kesadaran akan bahaya utang luar negeri, bahwa utang yang dikucurkan  negara-negara kapitalis akan berujung pada kesengsaraan. Selama ini,  salah satu penghambat besar untuk keluar dari jerat utang adalah  pemahaman yang salah tentang utang luar negeri. Utang luar negeri  dianggap sebagai sumber pendapatan, dan oleh karenanya dimasukkan dalam  pos pendapatan Negara. Kucuran utang dianggap sebagai bentuk kepercayaan  luar negeri terhadap pemerintah. Sehingga, semakin banyak utang yang  dikucurkan, semakin besar pula kepercayaan luar negeri terhadap  pemerintahan di sini. Demikian juga pemahaman bahwa pembangunan tidak  bisa dilakukan kecuali harus dengan utang luar negeri. 
Kedua,  keinginan dan tekad kuat untuk mandiri harus ditancapkan sehingga  memunculkan ide-ide kreatif yang dapat menyelesaikan berbagai problem  kehidupan, termasuk problem ekonomi. Sebaliknya mentalitas  ketergantungan pada luar negeri harus dikikis habis. 
sejumlah  program yang dicanangkan negara donor berpotensi menambah jumlah kaum  miskin. Program-program yang diajukan di bidang politik dan ekonomi  antara lain : (1) standarisasi Gaji (juga upah buruh) sehingga  kenaikannya dibatasi dapat diatur dengan undang-undang. Padahal ini akan  kontradiktif dengan daya beli, karena situasi yang mengakibatkan harga  membumbung sementara gaji mengalami pelambatan; (2) kebijakan di bidang  kesehatan, dimana subsidi dikurangi yang mengakibatkan  tarif layanan kesehatan RS milik pemerintah melonjak. Dan mengeluarkan  kebijakan kartu miskin mampu menyelesaikan masalah, padahal masalah  sebenarnya ada pada kum marginal, dimana tidak termasuk golongan  masyarakat miskin; (3)Adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, yang  mengakibatkan biaya pendidikan Perguruan Tinggi makin mahal dan makin  tidak terjangka masyarakat miskin dan marginal; (4) Subsidi  BBM harus dihilangkan; (5) Merosotnya nilai mata uang. Kondisi ini akan  menyebabkan ekspor besar-besaran dan menurunnya konsumsi dalam negeri.  Pasar dalam negeri akan mengalami kelangkaan barang akibat ekspor  berlebihan. Langkanya barang, jelas dapat melambungkan harga; (6)  Liberalisasi ekonomi terhadap pihak luar negeri. Kebijakan ini akan  memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk  melebarkan sayapnya di sini. Akibatnya, bukan saja keuntungan besar yang  mengalir ke luar negeri, namun juga dapat mematikan perusahaan lokal.  Tentu saja hal ini akan dapat memancing kerusuhan sosial yang  ujung-ujungnya akan membuat rakyat menderita. Apalagi dalam penerapan  kebijakan pemerintah ini, tak jarang dibarengi dengan politik represif  atau kekuatan militer yang kejam (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia  Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 99). 
Ketiga,  menekan segala bentuk pemborosan negara, baik oleh korupsi maupun  anggaran yang memperkaya pribadi pejabat, yang bisa menyebabkan defisit  anggaran. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam  jangka panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, dan  semakin menimbulkan kesenjangan sosial harus dihentikan. 
Keempat,  melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian dan ketahanan  pangan. Dengan membangun sector pertanian khususnya produk-produk  pertanian seperti beras, kacang, kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan  dan perikanan yang masuk sembako. Dan memberdayakan lahan maupun barang  milik negara dan umum (kaum muslimin) seperti laut, gunung, hutan,  pantai, sungai, danau, pertambangan, emas, minyak, timah, tembaga,  nikel, gas alam, batu bara dll.
Kelima, mengatur ekspor dan impor yang akan memperkuat ekonomi dalam negeri dengan memutuskan import atas barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri  dan  membatasi import dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang  diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan  teknologi tinggi. Serta memperbesar ekspor  untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak  mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan  eksistensi negara-negara Barat Imperialis. 
Namun  semua upaya ini hanya akan dapat berhasil dengan gemilang, tidak akan  dapat mengantarkan umat menuju puncak keridhaan Allah SWT yang abadi,  selain dengan menegakkan risalah Islam secara total dengan jalan  menegakkan Khilafah Islamiyah yang bertanggung jawab menegakkan risalah  Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok dunia. 
Wallah a’lam bi al-shawab.
(Arif Adiningrat – Lajnah Tsaqafiyyah).