Saya coba nyalakan
televisi. Seperti saat-saat lainnya di mana saya tidak tahu harus melakukan
apa. Televisi menjadi sarana mudah mengisi ruang kosong tanpa kegiatan
tersebut.Cukup menyalakan televisi, maka ada kegiatan yang saya lakukan:
menonton televisi. Saya hanya perlu bertindak pasif duduk statis menonton layar
televisi. Mungkin saat ini anda juga sedang menonton televisi. Entah itu
televisi plasma layar lebar yang berada di ruang keluarga atau televisi 14 inch
yang teronggok di sisi tempat tidur anda. Saya telusuri channelnya dengan
seksama. Di televisi di rumah saya, yang sudut-sudut layarnya sudah rusak
merona berwarna ungu itu, kira-kira ada sepuluh channel TV nasional dan sisanya
TV lokal. Terus memencet tombol pemindah saluran di remote, membawa saya
kembali lagi ke stasiun TV yang saya tonton di awal. Melihat ragam acara yang
ditayangkan oleh stasiun-stasiun TV itu membawa saya pada konklusi: semua
program di televisi seragam dan serupa. Tidak ada variasi. Tidak memberikan saya
opsi.
Lihat saja deretan acara
yang tersaji di depan mata saya. Mulai dari acara musik yang di antara jejeran
pembawa acaranya mesti terselip satu pembawa acara laki-laki yang bergaya
kewanita-wanitaan dan rombongan penonton yang selalu setia memeriahkan acara
dengan tarian dan yel-yel mereka. Teman-teman saya menyebut rombongan penonton
itu dengan sebutan “alay”dengan ciri
khas gaya berpakaian mereka yang mencolok mata.Berlanjut ke acara infotainment
yang beritanya hanya berkisar tentang kawin dan cerainya selebritis dan berita
seorang pengacara kondang memberikan mobil super mewah seharga sembilan milyar
untuk hadiah ulang tahun anak perempuannya yang ke-17. Pindah ke channel
berikutnya, sedang tayang sinetron yang pemeran wanitanya ketika baru bangun
tidur sudah memakai bulu mata palsu.
Dan mau pindah channel ke
stasiun TV manapun di televisi saya, acaranya tampak serupa dan sama. Tayangan
di sebuah stasiun TV tampak seperti hanya salin dan tempel dari acara di
stasiun TV lainnya saja, dengan sedikit modifikasi di sini dan di sana. Tidak
ada, seperti yang pakar pemasaran terkenal Hermawan Kartajaya katakan,
diferensiasi produk.Seperti para Anak Baru Gede (ABG) yang kerap membebek
kepada apa yang sedang ngetrend dan populer, stasiun TV pun tampaknya
dijangkiti penyakit serupa. Jika ada acara televisi yang sedang digandrungi
masyarakat di sebuah stasiun TV, maka dapat dipastikan akan segera muncul
tiruan acara serupa di stasiun TV lain.
Saya sedih dan miris
melihat fenomena ini. Ketika channel televisi semakin banyak, seharusnya ragam
acara yang ditayangkan semakin variatif. Dulu, ketika channel televisi yang
mengudara hanya TVRI, kita harus rela untuk menerima tontonan acara apa yang
ditayangkan TVRI. Karena ya memang channel televisi hanya TVRI saja. Mau
menonton channel apa lagi? Seiring dengan bertambahnya stasiun-stasiun televisi
swasta yang mengudara, seharusnya pilihan acara yang dapat kita tonton semakin
banyak. Namun yang terjadi malah sebaliknya, acara-acara di stasiun televisi
kini terasa monoton dan membosankan.
Atas nama rating, stasiun
televisi melakukannya. Dalam dunia pertelevisian Indonesia, rating sebuah
program layaknya dewa. Rating itu yang menentukan sebuah program akan
dilanjutkan atau tidak. Mungkin semua orang di balik layar melakukan hal yang
sama. Dan sudah menjadi tabiat televisi Indonesia, kalau rating masih tinggi
maka acara tersebut tidak akan dihentikan walaupun acaranya sudah tidak bermutu
dan sebagian penonton sudah mulai merasa jenuh. Dan walau demikian, acara
tersebut tidak diberi inovasi sama sekali. Jadi lama kelamaan cenderung
terkesan monoton. Dan kalau ratingnya sudah rendah dari awal, maka acara
tersebut langsung diberhentikan walaupun belum selesai.
Dan parahnya lagi, program
yang ratingnya tinggi bukanlah program yang berkualitas. Berdasarkan hasil
survey yang dilakukan oleh Yayasan Science Etika Teknologi (SET), TIFA, IJTI,
The Habibie Center, dan London School Public Relations, program yang punya
rating dan share tertinggi masih didominasi program hiburan. Sedangkan program
berita dan edukasi yang berkualitas justru ratingnya rendah. Ini menunjukkan
penonton Indonesia sendiri masih belum cerdas dalam memilih tontonan yang
berkualitas bagi mereka.