Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk didalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan GATT, WTO, AFTA, APEC dan organisasi perdagangan dunia lainnya, satu sisi memberi peluang terhadap sektor pertanian di Indonesia, jika agribisnis yang dilakukan memiliki daya saing, sisi lain merupakan ancaman terhadap komoditas pertanian jika tidak memiliki daya saing. Daya saing dapat dilihat dari keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan beragam jenis hasil bumi yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai ladang usaha. Mulai dari produk pertanian sampai produk hortikultura, semuanya memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sehingga banyak masyarakat yang membudidayakan berbagai produk pertanian dan hortikultura sebagai potensi bisnis yang cukup menjanjikan.
Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah Bawang merah (allium ascalonicum). Banyaknya manfaat yang dapat diambil dari bawang merah dan tingginya nilai ekonomi yang dimiliki sayuran ini, membuat para petani di berbagai daerah tertarik membudidayakannya untuk mendapatkan keuntungan besar dari potensi bisnis tersebut.
Komoditas bawang merah dipandang lebih siap memasuki era pasar bebas dibanding komoditas pangan lainnya. Karena memiliki kemandirian dan campur tangan pemerintah terhadap harga produksi relatif kecil. Komoditas bawang merah dipandang sebagai sumber pertumbuhan baru untuk dikembangkan dalam system agribisnis, karena mempunyai keterkaitan yang kuat baik ke sektor industri hulu pertanian (up stream agriculture) maupun keterkaitan ke hilir (on farm agriculture), yang mampu menciptakan nilai tambah produksi dan menyerap tenaga kerja melalui aktivitas pertanian sekunder (down stream agriculture). Di sisi yang lain, bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki fluktuasi dan sensitivitas harga yang cukup tinggi, terutama karena perubahan permintaan dan penawaran.
Kabupaten Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah di Jawa Tengah yang memiliki potensi wilayah kondusif bagi pengembangan bawang merah. Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki dalam hal potensi wilayah dan tenaga kerja diharapkan mampu meningkatkan daya saing komoditas bawang merah.
Budidaya bawang merah memang memberikan keuntungan cukup besar bagi para petaninya. Mengingat saat ini kebutuhan pasar akan bawang merah semakin meningkat tajam, seiring dengan meningkatnya jumlah pelaku bisnis makanan yang tersebar di berbagai daerah. Kondisi ini terjadi karena bawang merah sering dimanfaatkan masyarakat untuk bahan baku pembuatan bumbu masakan, dan menjadi bahan utama dalam proses produksi bawang goreng yang sering digunakan sebagai pelengkap berbagai menu kuliner.
Hal inilah yang mendorong para petani di daerah Jawa Tengah (khususnya Brebes), Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara (terutama di pulau Samosir), Bali, Lombok, Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan beberapa daerah lainnya untuk memilih budidaya bawang merah.
Meskipun keuntungan yang diperoleh dari budidaya bawang merah cukup tinggi, namun sampai sekarang para petani belum bisa membudidayakan bawang dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Karena para petani masih sangat tergantung dengan bantuan sinar matahari untuk proses budidaya dan proses pengeringan bawang merah pada saat pasca panen. Tentu keadaan ini sering merugikan para petani bawang merah, sebab persediaan produk yang tidak stabil menyebabkan harganya mengalami fluktuasi (naik di saat musim kemarau dan turun drastis di musim panen).
Sulit dipungkiri bahwa sejauh ini sebagian besar petani bawang merah belum mampu mengendalikan harga jual yang kadang melambung tinggi dan di lain waktu justru melorot hingga harga terendah. Kalau dikaji lebih jauh, fluktuasi harga bawang merah tersebut sesungguhnya sebagai dampak ulah para tengkulak yang selama ini menguasai jalur distribusi perdagangan komoditas tersebut. Tidak jarang para tengkulak membohongi para petani dengan menyebutkan bahwa stok bawang merah di pasaran demikian banyak sehingga mereka tidak berminat membeli bawang merah dalam jumlah yang besar. Dalam kondisi seperti ini, petani bawang merah jelas sangat terpojok. Kalau bawangnya dibiarkan tidak dijual dalam jangka waktu lama, maka dikhawatirkan akan membusuk. Selain itu, karena bertani dengan modal yang terbatas, mereka berharap hasil panen bawang merah segera terjual untuk menutupi kebutuhan. Akhirnya meskipun dengan harga jual yang murah, mereka terpaksa menjualnya kepada tengkulak.
Untuk mencegah kerugian tersebut, maka diperlukan upaya untuk dapat membudidayakan bawang merah sepanjang tahun. Misalnya dengan budidaya di luar musim, dan menggunakan bantuan mesin tepat guna untuk membantu pengeringan hasil bawang merah. Dengan begitu, diharapkan produksi dan harga bawang merah dipasaran bisa terus stabil sesuai dengan permintaan pasar yang terus meningkat.
Dari uraian di atas, setidaknya dapat ditarik benang merah yang berkaitan dengan seringnya terjadi fluktuasi bawang merah sebagai komoditi unggulan masyarakat. Pertama, ketergantungan masyarakat terhadap bawang tidaklah selalu menguntungkan. Karena ketika harga bawang merah jatuh, kondisi ekonomi masyarakatnya pun secara otomatis akan terpengaruh.
Kedua, selama ini sebagian masyarakat baru menguasai masalah penanamannya saja. Sedangkan masalah distribusi, pengolahan pasca panen serta inovasi-inovasi lainnya termasuk menyangkut keseriusan masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjadikan bawang merah sebagai komuditas unggulan yang dioptimalkan belum banyak yang berpikir ke arah tersebut.
Dalam hal ini mengacu pada berbagai permasalahan di atas, setidaknya terdapat tiga hal yang harus segera dibenahi berkaitan dengan keadaan petani bawang merah. Pertama, political will dari pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk tetap menjaga eksistensi bawang merah yang selama ini dikenal sebagai komoditi unggulan dengan mengoptimalkan potensi kompetitif dengan seperangkat regulasi yang medukung kebijakan tersebut. Kedua, sistem pemasaran yang selama ini cenderung masih tradisionalis dan merugikan petani hendaknya secara bertahap diubah ke arah yang lebih menguntungkan petani dengan cara melakukan inovasi-inovasi untuk mendapatkan nilai plus di pasaran, semisal membrandingkan bawang merah khas masing-masing daerah dan mengklasifikasikannya menurut jenis dan kualitasnya. Hal ini dimaksudkan untuk menambah daya tawar di pasaran. Ketiga, hendaknya dilakukan pembinaan SDM secara terarah dan terpadu.
Pada akhirnya, semua faktor di atas tidak akan berhasil tanpa adanya keberpihakan pemerintah daerah terhadap nasib petani. Bagaimanapun keterbatasan pola pikir petani saat ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mencarikan jalan keluarnya. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana upaya kita untuk membantu kehidupan para petani bawang merah tersebut agar benar-benar menikmati hasil keringatnya secara optimal.
Sumber: