29 May 2012

Matinya Kreativitas Pertelevisian Kita


Saya coba nyalakan televisi. Seperti saat-saat lainnya di mana saya tidak tahu harus melakukan apa. Televisi menjadi sarana mudah mengisi ruang kosong tanpa kegiatan tersebut.Cukup menyalakan televisi, maka ada kegiatan yang saya lakukan: menonton televisi. Saya hanya perlu bertindak pasif duduk statis menonton layar televisi. Mungkin saat ini anda juga sedang menonton televisi. Entah itu televisi plasma layar lebar yang berada di ruang keluarga atau televisi 14 inch yang teronggok di sisi tempat tidur anda. Saya telusuri channelnya dengan seksama. Di televisi di rumah saya, yang sudut-sudut layarnya sudah rusak merona berwarna ungu itu, kira-kira ada sepuluh channel TV nasional dan sisanya TV lokal. Terus memencet tombol pemindah saluran di remote, membawa saya kembali lagi ke stasiun TV yang saya tonton di awal. Melihat ragam acara yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun TV itu membawa saya pada konklusi: semua program di televisi seragam dan serupa. Tidak ada variasi. Tidak memberikan saya opsi.

Lihat saja deretan acara yang tersaji di depan mata saya. Mulai dari acara musik yang di antara jejeran pembawa acaranya mesti terselip satu pembawa acara laki-laki yang bergaya kewanita-wanitaan dan rombongan penonton yang selalu setia memeriahkan acara dengan tarian dan yel-yel mereka. Teman-teman saya menyebut rombongan penonton itu dengan  sebutan “alay”dengan ciri khas gaya berpakaian mereka yang mencolok mata.Berlanjut ke acara infotainment yang beritanya hanya berkisar tentang kawin dan cerainya selebritis dan berita seorang pengacara kondang memberikan mobil super mewah seharga sembilan milyar untuk hadiah ulang tahun anak perempuannya yang ke-17. Pindah ke channel berikutnya, sedang tayang sinetron yang pemeran wanitanya ketika baru bangun tidur sudah memakai bulu mata palsu.

Dan mau pindah channel ke stasiun TV manapun di televisi saya, acaranya tampak serupa dan sama. Tayangan di sebuah stasiun TV tampak seperti hanya salin dan tempel dari acara di stasiun TV lainnya saja, dengan sedikit modifikasi di sini dan di sana. Tidak ada, seperti yang pakar pemasaran terkenal Hermawan Kartajaya katakan, diferensiasi produk.Seperti para Anak Baru Gede (ABG) yang kerap membebek kepada apa yang sedang ngetrend dan populer, stasiun TV pun tampaknya dijangkiti penyakit serupa. Jika ada acara televisi yang sedang digandrungi masyarakat di sebuah stasiun TV, maka dapat dipastikan akan segera muncul tiruan acara serupa di stasiun TV lain.

Saya sedih dan miris melihat fenomena ini. Ketika channel televisi semakin banyak, seharusnya ragam acara yang ditayangkan semakin variatif. Dulu, ketika channel televisi yang mengudara hanya TVRI, kita harus rela untuk menerima tontonan acara apa yang ditayangkan TVRI. Karena ya memang channel televisi hanya TVRI saja. Mau menonton channel apa lagi? Seiring dengan bertambahnya stasiun-stasiun televisi swasta yang mengudara, seharusnya pilihan acara yang dapat kita tonton semakin banyak. Namun yang terjadi malah sebaliknya, acara-acara di stasiun televisi kini terasa monoton dan membosankan.

Atas nama rating, stasiun televisi melakukannya. Dalam dunia pertelevisian Indonesia, rating sebuah program layaknya dewa. Rating itu yang menentukan sebuah program akan dilanjutkan atau tidak. Mungkin semua orang di balik layar melakukan hal yang sama. Dan sudah menjadi tabiat televisi Indonesia, kalau rating masih tinggi maka acara tersebut tidak akan dihentikan walaupun acaranya sudah tidak bermutu dan sebagian penonton sudah mulai merasa jenuh. Dan walau demikian, acara tersebut tidak diberi inovasi sama sekali. Jadi lama kelamaan cenderung terkesan monoton. Dan kalau ratingnya sudah rendah dari awal, maka acara tersebut langsung diberhentikan walaupun belum selesai.

Dan parahnya lagi, program yang ratingnya tinggi bukanlah program yang berkualitas. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Yayasan Science Etika Teknologi (SET), TIFA, IJTI, The Habibie Center, dan London School Public Relations, program yang punya rating dan share tertinggi masih didominasi program hiburan. Sedangkan program berita dan edukasi yang berkualitas justru ratingnya rendah. Ini menunjukkan penonton Indonesia sendiri masih belum cerdas dalam memilih tontonan yang berkualitas bagi mereka.

Memang itu semua ditentukan rating dan kita juga tidak bisa menyalahkan stasiun TV dalam hal ini. Tidak ada rating sama saja dengan tidak adanya iklan, dan tidak adanya iklan sama saja dengan tidak adanya pemasukan bagi stasiun TV. Tetapi televisi bukanlah milik para pemilik modal. Televisi dengan daya jangkaunya yang luas sudah seharusnya milik publik. Publiklah yang seharusnya menentukan acara apa yang hendak mereka tonton di televisi. Atau ketika stasiun televisi masih saja bertuhankan rating, mungkin sudah selayaknya publik memboikot dan menolak tayangan acara tidak bermutu dengan tidak lagi menonton televisi. Ayo matikan televisimu. Mulailah membaca buku.

28 May 2012

Fluktuasi Perkembangan Kredit Usaha Kecil (KUK) dan Kredit Investasi Kecil (KIK) Menurut Kelompok Bank (2005-2012)


Kelompok 8:
1. Abdul Halim Utama (20210018)
2. Benjamin Eliezer Pascareno Simanjuntak (21210386)
3. Prayoga Cahayanda (25210378)

Dari data di atas, dapat kita lihat bahwa tren penyaluran kredit meningkat selama periode 2005-2008 kemudian menurun di tahun 2009. Penurunan tersebut makin curam di tahun 2010 untuk kemudian naik perlahan di tahun 2011 dan 2012.
Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan kredit unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) meningkat 30 persen. Kredit mass market yang mencapai 44 persen dari total kredit, meningkat 34 persen year-on-year sejalan dengan pertumbuhan yang pesat dalam penyaluran kredit kepada segmen mikro.
Selain itu, terbitnya UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM turut mendorong penyaluran kredit kepada sektor UKM.
Hal yang patut diteliti lainnya adalah apakah ada keterkaitan antara tingginya penyaluran kredit kepada UKM di tahun 2008 dengan masa pemilu 2009 yang menjelang. Apakah tingginya penyaluran kredit kepada UKM tersebut merupakan strategi pencitraan merebut hati rakyat oleh pemerintah saat itu? Perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
Sedangkan yang menyebabkan turunnya penyaluran kredit kepada sektor mikro di tahun 2009 adalah karena dampak buruk krisis global dinilai mempengaruhi perkembangan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selama dua tahun terakhir, penyaluran kredit UMKM tumbuh lebih rendah dari kredit non UMKM. Selama dua tahun terakhir, penyaluran kredit UMKM perbankan tumbuh lebih rendah dari kredit non UMKM, sehingga pangsanya atas total kredit perbankan cenderung menurun.
Pangsa kredit UMKM pada akhir tahun 2008 adalah 49,5% dari total kredit perbankan, turun dari 51,2% (2007) dan 51,85% (2006). Trends tersebut sejauh ini tidak berubah dengan adanya krisis keuangan global jika dampaknya dianggap mulai terjadi pada triwulan III-2008.

Tren yang dapat kita lihat lagi adalah selama tahun 2005-2009 Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) memimpin dalam jumlah penyaluran KUK/KIK. Namun semenjak tahun 2010 dan seterusnya, Bank BUMN yang memimpin dalam jumlah penyaluran KUK/KIK.
BUMN memimpin dalam penyaluran kredit mikro karena Bank Indonesia (BI) tidak menciptakan iklim usaha perbankan yang sehat dan kian membiarkan bank-bank BUMN merebut ranah kredit Mikro.
BI sebagai bank sentral tidak memberikan iklim persaingan usaha yang sehat antar jenis-jenis bank dan cenderung menjadi simpang siur pada batasan wilayahnya masing-masing. Terutama dengan membiarkan bank-bank BUMN masuk ke ranah kredit mikro yang semakin menggerus kinerja bank-bank lainnya, termasuk BPR.
Berdasarkan data Perbarindo, total penyaluran kredit mikro pada semester I-2009 sebesar Rp 251,854 triliun, tumbuh 4,24% dari periode yang sama tahun 2008 sebesar Rp 241,596 triliun.
Rinciannya, bank BUMN menyalurkan kredit mikro sebesar Rp 109,713 triliun, naik 10,28% dari periode yang sama tahun 2008 sebesar Rp 99,483 triliun. BPD menyalurkan kredit mikro sebesar Rp 39,153 triliun, naik tipis 0,34% dari periode yang sama di 2008 sebesar Rp 39,019 triliun.
Bank swasta nasional mengucurkan kredit mikro sebesar Rp 64,784 triliun, turun 0,95% dari sebelumnya Rp 65,411 triliun. Bank asing dan campuran menyalurkan kredit mikro sebesar Rp 11,816 triliunn, turun 3,2% dari semester I-2008 sebesar Rp 12,211 triliun.
Penyaluran kredit mikro BPR sebesar Rp 26,388 triliun, naik 3,5% dari sebelumnya Rp 25,472 triliun.
Selain itu, faktor lainnya adalah dibentuknya PNM Ulam (unit layanan masyarakat) oleh bank-bank BUMN yang fokus mengucurkan kredit mikro. Keberadaan PNM Ulam secara frontal telah menciptakan persaingan head to head dengan BPR.
Ini bisa terjadi karena BI tidak mengatur secara lebih rapi mengenai pembagian wilayah masing-masing, akhirya terjadi perebutan wilayah dan cenderung menciptakan iklim yang tidak sehat.
 
Sumber:
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/52DFC998-5EEC-41A8-B44A-BDDD542D78DA/24308/PerkembangankreditUMKMdanMKMAgustus2011DIBIBD.pdf