27 November 2011

Elastisitas Permintaan Input dan Elastisitas Penawaran Output Bawang Merah Ditinjau Dari Fungsi Produksi

Pendahuluan

Memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJPT II), sektor Pertanian masih menjadi perhatian di samping sektor Industri. Pertanian yang tangguh akan dapat mendukung sektor industri. Dalam sektor pertanian pemerintah telah menetapkan pengembangan berdasarkan skala prioritas. Prioritas pertama ditujukan pada pengembangan tanaman hortikultura yang selama ini diimpor dari luar negeri, seperti bawang putih, bawang bombay, jamur, jeruk, apel, dan anggur. Prioritas kedua adalah pengembangan tanaman ekspor antara lain kubis, kentang, bawang merah, tomat, dan mangga.

Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan salah satu jenis umbi lapis selain bawang putih dan bawang bombay. Bawang merah banyak digunakan sebagai bumbu pelezat makanan dan ramuan obat tradisional. Pada umumnya bawang merah ditanam pada ketinggian 10 sampai 250 m di atas permukaan air laut, meskipun dapat juga ditanam di daerah pegunungan dengan ketinggian 1200 m di atas permukaan air laut.



Masalah yang banyak dihadapi petani bawang merah yaitu fluktuasi harga. Fluktuasi harga disebabkan oleh adanya ketidak-seimbangan antara permintaan dan penawaran juga dipengaruhi oleh jumlah dan harga faktor produksi (input) yang digunakan. Oleh karena itu petani perlu mengetahui harga bawang merah, harga faktor produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya.

Dasar Teori

Faktor produksi dalam suatu proses pertanian dibedakan menjadi faktor produksi tetap dan faktor produksi variabel. Hubungan fisik antara faktor produksi (input) dengan produksi (output) digambarkan dalam bentuk fungsi produksi:

Y = f(x)

di mana Y : produksi (output)
x : faktor produksi (input)



Menurut Hadidarwanto (1983) berdasarkan elastisitas produksinya maka kurva fungsi produksi (gambar 1) dapat dibagi menjadi 3 daerah. Pada daerah I di mana Ep > 1, menunjukkan bahwa PM > PR. Daerah II menunjukkan bahwa PM < PR tetapi masih bernilai positif, sehingga elastisitas produksinya bernilai dari 0 sampai 1 (0 ≤ Ep ≤ 1). Daerah I disebut daerah yang tidak rasional sedangkan daerah II disebut daerah rasional. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar 2.

Pada gambar 2 dapat juga dibuat pembagian daerah seperti pada gambar 1. Daerah I pada saat NPM > NPR dan daerah II pada saat NPM < NPR tetapi masih bernilai positif, sebab

NPM = p. PM
NPR = p. PR

Jika berproduksi pada daerah I petani akan mengalami kerugian, sebab total biaya lebih besar dari total penerimaan (OABX1 > OCDX1). Sebaliknya jika beroperasi pada daerah II petani akan mendapatkan keuntungan sebab total penerimaan lebih besar dari total biaya (OEFX2 > OGHX2)

Pada gambar 2 tepatnya daerah II juga dapat dilihat hubungan antara x (input) dengan MFC tidak lain merupakan harga input. Dengan menambah jumlah input, harga semakin rendah (x2 > x1 dan Px1 < Px2). Hubungan ini sama dengan hubungan antara harga dan jumlah barang yang diminta dalam fungsi permintaan, sehingga kurva NPM merupakan kurva permintaan input.

Fungsi produksi mempunyai sifat dualitas dengan fungsi biaya, sehingga dari fungsi produksi dapat mencerminkan fungsi biaya atau fungsi biaya merupakan fungsi invers dari fungsi produksi. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Fungsi produksi : Y = f(x)

Fungsi biaya : X = v. f^-1(Y)

Dengan diketahui fungsi biaya total dapat diturunkan fungsi biaya marginal yang tidak lain adalah penawaran output. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

π = TR - TC

Syarat keuntungan maksimal adalah turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap output = 0 atau dπ/dy = 0, sehingga akan diperoleh MC=MR=p (harga output). Kondisi ini dapat digambarkan seperti pada gambar 3.



Pada saat harga output P0 jumlah output yang dihasilkan sebesar Y0. Jika harga naik sebesar P2 maka output yang diproduksi meningkat lagi sebesar Y2. Kurva MC di atas AC pada terjadi keuntungan yang maksimal merupakan fungsi penawaran sebab dengan naiknya harga output, jumlah barang yang ditawarkan meningkat.

HIPOTESIS

1. Diduga penggunaan faktor produksi bawang merah belum efisien.
2. Diduga permintaan input akibat adanya perubahan harga output bersifat elastis.
3. Diduga penawaran output akibat adanya perubahan harga input bersifat tidak elastis.

METODE ANALISIS

Penelitian dilakukan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul dengan sampel petani sejumlah 60.

1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan faktor produksi terhadap bawang merah digunakan model analisis fungsi produksi Cobb-Douglass

Y = a Xi^bi

di mana, Y: Produksi bawang merah Xi (1,2,3, ...11) : faktor produksi lahan, bibit, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pupuk ZA, insektisida, fungisida, perekat, Tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga.

Untuk melihat efisiensi penggunaan faktor produksi, menggunakan perbandingan Nilai Produksi Marginal (NPMxi) dengan harga input (pxi) atau NPMxi/Pxi.

Apabila NPMxi/Pxi = 1 maka penggunaan input dikatakan efisien.

NPMxi/Pxi > 1 maka penggunaan input dikatakan tidak efisien.

2. Untuk menentukan fungsi permintaan dengan mendiferensialkan fungsi keuntungan. Sedangkan elastisitas permintaan input akibat adanya perubahan harga output dapat dirumuskan dengan

Ex = dx/dPy - Py/x
=-1/(b-1)

3. Fungsi penawaran turunan dari fungsi biaya, di mana fungsi biaya adalah fungsi invers dari fungsi produksi. Elastisitas penawaran output akibat adanya perubahan harga input dapat dirumuskan dengan:

Ey = dy/dPx - Px/y
=-b/(1-b)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi bawang merah adalah lahan, perekat, dan tenaga kerja luar keluarga  pada tingkat signifikansi sebesar 10 persen. Sedangkan faktor produksi bibit, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCI, pupuk ZA, insektisida, fungisida, dan tenaga kerja luar keluarga, mempunyai kecenderungan dalam mempengaruhi produksi bawang merah yaitu bisa meningkatkan ataupun menurunkan produksi bawang merah. Koefisien determinasi sebesar 87,27 persen. Ini berarti keragaman produksi bawang merah dapat dijelaskan oleh kesebelas perubah (faktor produksi) tersebut. Sedangkan 12,73 persen dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam model (tabel1).

Keadaan seperti ini dikarenakan adanya kelemahan penelitian yang antara lain adalah kondisi petani sampel yang sangat homogen baik tingkat umurnya, tingkat pendidikannya, maupun tingkat keterampilannya. Sehingga menyebabkan dalam hal menjawab pertanyaan tidak seperti yang diharapkan. Hal ini mengakibatkan biasnya data yang dinalisis.

Dilihat dari efisiensi penggunaan faktor produksi usaha tani bawang merah ternyata faktor produksi lahan, perekat, dan tenaga kerja luar keluarga tidak efisien (tabel 2). Untuk lahan penggunaannya masih perlu ditingkatkan yaitu dengan pengolahan yang lebih baik lagi. Di samping itu upaya yang perlu dilakukan agar faktor produksi lahan menjadi efisien yaitu dengan penambahan luas areal mengingat pemilikan lahan petani untuk usaha tani bawang merah relatif sempit. Meskipun penambahan luas lahan ini cukup sulit, karena lahan dalam jangka pendek merupakan input tetap. Akan tetapi ini bisa dilakukan dengan menyewa.

Fungsi perekat usaha tani bawang merah adalah sebagai pencampur insektisida tertentu sehingga dapat berfungsi lebih baik. Penggunaan perekat pada usaha tani bawang merah masih terlalu berlebihan sehingga menjadi tidak efisien dan perlu dikurangi.

Penggunaan tenaga kerja luar keluarga oleh petani sampel masih terlalu berlebihan. Dalam kenyataan penggunaan tenaga kerja pada usaha tani bawang merah cukup banyak. Akan tetapi dengan pemilikan lahan relatif sempit menyebabkan penggunaan tenaga kerja menjadi tidak efisien. Untuk mengurangi biaya usaha tani bawang merah khususnya penggunaan tenaga kerja oleh anggota keluarga petani hendaknya tidak diupahkan.

 Elastisitas permintaan input akibat adanya perubahan harga output sebesar 78,128 (elastis) artinya setiap ada kenaikan harga bawang merah sebesar 1% maka permintaan terhadap input naik sebesar 78,218 persen ceteris paribus. Sedangkan elastisitas penawaran output akibat adanya perubahan harga input sebesar -77,125 (tidak elastis) artinya setiap ada kenaikan harga input (faktor produksi) sebesar 1 persen maka penawaran bawang merah akan turun sebesar 77,125 persen ceteris paribus.

Nilai elastisitas permintaan input maupun elastisitas penawaran output tersebut ternyata terlalu besar. Hal ini dikarenakan perhitungan elastisitas tersebut merupakan turunan dari fungsi produksi tidak secara empirik. Sehingga kesalahan dalam menentukan parameter pada fungsi produksi akan berpengaruh terhadap perhitungan elastisitas permintaan maupun penawaran. Keadaan sangat berkaitan dalam penelitian ini, yang mana penggunaan faktor produksinya tidak efisien. Dengan penggunaan input yang tidak efisien, apabila ada perubahan harga input (faktor produksi) maupun harga output (bawang merah) maka petani akan merubah penggunaan faktor produksi dalam jumlah yang cukup besar.

KESIMPULAN

Terbatas pada penelitian yang dilakukan di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penggunaan faktor produksi lahan, perekat, dan tenaga kerja luar keluarga pada usaha tani bawang merah belum dilakukan secara efisien.

2. Elastisitas permintaan input akibat adanya perubahan harga output sebesar 78,128 (elastis).

3. Elastisitas penawaran output akibat adanya perubahan harga input sebesar -77,125 (tidak elastis).

SARAN

Melihat kondisi Desa Srigading yang sangat potensial untuk usaha tani bawang merah, maka perlu banyak upaya yang dilakukan seperti mengaktifkan kegiatan penyuluhan, supaya produksi bawang merah dapat seoptimal mungkin. Dengan demikian,  penggunaan faktor produksi bawang merah bisa lebih efisien dan nilai elastisitas permintaan input maupun elastisitas penawaran output tidak terlalu besar.

Sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/419669.pdf
Penulis: Nur Rahmawati dan Eni Istiyanti (Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).

 Analisis:

Harga bawang merah berfluktuasi selain karena tidak seimbangnya permintaan dan penawaran namun juga karena jumlah dan harga faktor produksi (input) yang digunakan. Jurnal ini meneliti pengaruh penggunaan faktor produksi terhadap produksi bawang merah menggunakan model analisis fungsi produksi Cobb-Douglass. Hasilnya adalah faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi bawang merah adalah lahan, perekat, dan tenaga kerja luar keluarga  pada tingkat signifikansi sebesar 10 persen. Disarankan oleh peneliti untuk perlu banyak upaya yang dilakukan seperti mengaktifkan kegiatan penyuluhan, supaya produksi bawang merah dapat seoptimal mungkin. Dengan demikian,  penggunaan faktor produksi bawang merah bisa lebih efisien dan nilai elastisitas permintaan input maupun elastisitas penawaran output tidak terlalu besar.

07 November 2011

Potensi dan Kendala Budidaya Bawang Merah

 


Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk didalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan GATT, WTO, AFTA, APEC dan organisasi perdagangan dunia lainnya, satu sisi memberi peluang terhadap sektor pertanian di Indonesia, jika agribisnis yang dilakukan memiliki daya saing, sisi lain merupakan ancaman terhadap komoditas pertanian jika tidak memiliki daya saing. Daya saing dapat dilihat dari keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan beragam jenis hasil bumi yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai ladang usaha. Mulai dari produk pertanian sampai produk hortikultura, semuanya memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sehingga banyak masyarakat yang membudidayakan berbagai produk pertanian dan hortikultura sebagai potensi bisnis yang cukup menjanjikan.

Salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan masyarakat Indonesia adalah Bawang merah (allium ascalonicum). Banyaknya manfaat yang dapat diambil dari bawang merah dan tingginya nilai ekonomi yang dimiliki sayuran ini, membuat para petani di berbagai daerah tertarik membudidayakannya untuk mendapatkan keuntungan besar dari potensi bisnis tersebut.

Komoditas bawang merah dipandang lebih siap memasuki era pasar bebas dibanding komoditas pangan lainnya. Karena memiliki kemandirian dan campur tangan pemerintah terhadap harga produksi relatif kecil. Komoditas bawang merah dipandang sebagai sumber pertumbuhan baru untuk dikembangkan dalam system agribisnis, karena mempunyai keterkaitan yang kuat baik ke sektor industri hulu pertanian (up stream agriculture) maupun keterkaitan ke hilir (on farm agriculture), yang mampu menciptakan nilai tambah produksi dan menyerap tenaga kerja melalui aktivitas pertanian sekunder (down stream agriculture). Di sisi yang lain, bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki fluktuasi dan sensitivitas harga yang cukup tinggi, terutama karena perubahan permintaan dan penawaran.

Kabupaten
Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah di Jawa Tengah yang memiliki potensi wilayah kondusif bagi pengembangan bawang merah. Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki dalam hal potensi wilayah dan tenaga kerja diharapkan mampu meningkatkan daya saing komoditas bawang merah.

Budidaya bawang merah memang memberikan keuntungan cukup besar bagi para petaninya. Mengingat saat ini kebutuhan pasar akan bawang merah semakin meningkat tajam, seiring dengan meningkatnya jumlah pelaku bisnis makanan yang tersebar di berbagai daerah. Kondisi ini terjadi karena bawang merah sering dimanfaatkan masyarakat untuk bahan baku pembuatan bumbu masakan, dan menjadi bahan utama dalam proses produksi bawang goreng yang sering digunakan sebagai pelengkap berbagai menu kuliner.

Hal inilah yang mendorong para petani di daerah Jawa Tengah (khususnya Brebes), Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara (terutama di pulau Samosir), Bali, Lombok, Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan beberapa daerah lainnya untuk memilih budidaya bawang merah.


Meskipun keuntungan yang diperoleh dari budidaya bawang merah cukup tinggi, namun sampai sekarang para petani belum bisa membudidayakan bawang dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Karena para petani masih sangat tergantung dengan bantuan sinar matahari untuk proses budidaya dan proses pengeringan bawang merah pada saat pasca panen. Tentu keadaan ini sering merugikan para petani bawang merah, sebab persediaan produk yang tidak stabil menyebabkan harganya mengalami fluktuasi (naik di saat musim kemarau dan turun drastis di musim panen).

Sulit dipungkiri bahwa sejauh ini sebagian besar petani bawang merah belum mampu mengendalikan harga jual yang kadang melambung tinggi dan di lain waktu justru melorot hingga harga terendah. Kalau dikaji lebih jauh, fluktuasi harga bawang merah tersebut sesungguhnya sebagai dampak ulah para tengkulak yang selama ini menguasai jalur distribusi perdagangan komoditas tersebut. Tidak jarang para tengkulak membohongi para petani dengan menyebutkan bahwa stok bawang merah di pasaran demikian banyak sehingga mereka tidak berminat membeli bawang merah dalam jumlah yang besar. Dalam kondisi seperti ini, petani bawang merah jelas sangat terpojok. Kalau bawangnya dibiarkan tidak dijual dalam jangka waktu lama, maka dikhawatirkan akan membusuk. Selain itu, karena bertani dengan modal yang terbatas, mereka berharap hasil panen bawang merah segera terjual untuk menutupi kebutuhan. Akhirnya meskipun dengan harga jual yang murah, mereka terpaksa menjualnya kepada tengkulak.

Untuk mencegah kerugian tersebut, maka diperlukan upaya untuk dapat membudidayakan bawang merah sepanjang tahun. Misalnya dengan budidaya di luar musim, dan menggunakan bantuan mesin tepat guna untuk membantu pengeringan hasil bawang merah. Dengan begitu, diharapkan produksi dan harga bawang merah dipasaran bisa terus stabil sesuai dengan permintaan pasar yang terus meningkat.

Dari uraian di atas, setidaknya dapat ditarik benang merah yang berkaitan dengan seringnya terjadi fluktuasi bawang merah sebagai komoditi unggulan masyarakat. Pertama, ketergantungan masyarakat terhadap bawang tidaklah selalu menguntungkan. Karena ketika harga bawang merah jatuh, kondisi ekonomi masyarakatnya pun secara otomatis akan terpengaruh.

Kedua, selama ini sebagian masyarakat baru menguasai masalah penanamannya saja. Sedangkan masalah distribusi, pengolahan pasca panen serta inovasi-inovasi lainnya termasuk menyangkut keseriusan masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjadikan bawang merah sebagai komuditas unggulan yang dioptimalkan belum banyak yang berpikir ke arah tersebut.

Dalam hal ini mengacu pada berbagai permasalahan di atas, setidaknya terdapat tiga hal yang harus segera dibenahi berkaitan dengan keadaan petani bawang merah. Pertama, political will dari pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk tetap menjaga eksistensi bawang merah yang selama ini dikenal sebagai komoditi unggulan dengan mengoptimalkan potensi kompetitif dengan seperangkat regulasi yang medukung kebijakan tersebut. Kedua, sistem pemasaran yang selama ini cenderung masih tradisionalis dan merugikan petani hendaknya secara bertahap diubah ke arah yang lebih menguntungkan petani dengan cara melakukan inovasi-inovasi untuk mendapatkan nilai plus di pasaran, semisal membrandingkan bawang merah khas masing-masing daerah dan mengklasifikasikannya menurut jenis dan kualitasnya. Hal ini dimaksudkan untuk menambah daya tawar di pasaran. Ketiga, hendaknya dilakukan pembinaan SDM secara terarah dan terpadu.

Pada akhirnya, semua faktor di atas tidak akan berhasil tanpa adanya keberpihakan pemerintah daerah terhadap nasib petani. Bagaimanapun keterbatasan pola pikir petani
saat ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mencarikan jalan keluarnya. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana upaya kita untuk membantu kehidupan para petani bawang merah tersebut agar benar-benar menikmati hasil keringatnya secara optimal.

Sumber:

 

04 November 2011

Price Ceiling dan Price Floor

Bagaimana Price ceiling mempengaruhi pasar.






Gambar di atas menunjukkan kasus di mana pemerintah menetapkan harga maksimum di bawah harga keseimbangan, sehingga price ceiling mengikat pasar. Kekuatan penawaran dan permintaan cenderung menggerakkan harga menuju harga keseimbangan, tapi ketika harga pasar tertahan ceiling, harga tidak dapat naik lebih jauh. Sehingga, harga pasar sama dengan price ceiling. Pada harga ini, jumlah barang yang diminta melebihi jumlah yang ditawarkan. Terjadi shortage pada barang, sehingga sebagian orang yang ingin membeli barang pada harga yang terjadi tidak dapat melakukan pembelian.

Bagaimana Price floor mempengaruhi pasar.




Gambar di atas menunjukkan apa yang terjadi ketika pemerintah menerapkan price floor. Dalam kasus ini, karena harga keseimbangan di bawah floor, price floor mengikat pasar. Kekuatan penawaran dan permintaan cenderung menggerakkan harga menuju harga keseimbangan, tapi ketika harga pasar tertahan floor, harga tidak dapat turun lebih jauh. Sehingga, harga pasar sama dengan price floor. Pada harga ini, jumlah barang yang ditawarkan melebihi jumlah yang diminta. Sebagian orang yang ingin menjual barang pada harga yang terjadi tidak dapat melakukan penjualan. Jadi, price floor mengakibatkan surplus.

Pergeseran Kurva Penawaran

Kita ambil contoh barang dalam hal ini adalah pensil. Kurva penawaran menunjukkan seberapa banyak produsen pensil menawarkan barang dagangannya dalam suatu harga tertentu. Faktor-faktor selain harga yang mempengaruhi keputusan produsen untuk menjual seberapa banyak dianggap tetap. Hubungan ini dapat berubah seiring waktu, yang direpresentasikan oleh pergeseran dari kurva penawaran. Contoh, misalkan harga kayu jatuh. Karena kayu adalah bahan baku dari pensil, maka kejatuhan harga kayu membuat menjual pensil menjadi lebih menguntungkan. Ini meningkatkan penawaran pensil: Pada suatu harga yang terjadi, penjual kini lebih ingin memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak. Sehingga, kurva penawaran bergeser ke kanan.


Gambar di atas mengilustrasikan pergeseran dari penawaran. Setiap perubahan yang meningkatkan jumlah yang ditawarkan pada tiap tingkat harga, seperti misalnya turunnya harga kayu, menggeser kurva penawaran ke kanan dan ini disebut peningkatan penawaran. Sebaliknya, setiap perubahan yang mengurangi jumlah barang yang ditawarkan pada suatu tingkat harga menggeser kurva penawaran ke kiri dan ini disebut penurunan penawaran.

Terdapat banyak variabel yang dapat menggeser kurva penawaran. Di antaranya adalah:

1. Harga Input. Untuk memproduksi pensil, penjual menggunakan berbagai macam input: kayu, karbon, mesin untuk membuat pensil, tenaga kerja, dll. Ketika harga dari satu atau lebih input ini naik, memproduksi pensil menjadi kurang menguntungkan, dan perusahaan menawarkan lebih sedikit pensil. Jika harga input naik tinggi sekali, perusahaan mungkin akan tutup dan tidak menawarkan pensil sama sekali. Kesimpulannya, penawaran dari suatu barang berhubungan negatif dengan harga dari input yang digunakan untuk membuat barang.

2. Teknologi. Teknologi untuk mengubah input menjadi pensil adalah penentu lainnya dari penawaran. Penemuan dari mesin pembuat pensil yang telah termekanisasi, contohnya, mengurangi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membuat pensil. Dengan mengurangi biaya perusahaan, perkembangan teknologi meningkatkan penawaran pensil.

3. Ekspektasi. Jumlah pensil yang perusahaan tawarkan hari ini mungkin tergantung pada ekspektasi dari masa depan. Contohnya, jika perusahaan berharap harga pensil akan naik di masa depan, perusahaan akan menyimpan produksinya sekarang ke dalam gudang dan akan menawarkan lebih sedikit ke pasar pada hari ini.

4. Jumlah Penjual. Penawaran di pasar tergantung pada semua faktor yang mempengaruhi penawaran dari penjual individu, seperti harga input yang digunakan untuk memproduksi barang, teknologi yang tersedia, dan ekspektasi. Satu hal lagi, penawaran dalam pasar tergantung dari jumlah penjual. Jika salah satu penjual pensil keluar dari bisnis pensil, penawaran dalam pasar akan turun.