19 April 2011

Pengamat Ekonomi : Kembali Ke Prinsip Dasar Ekonomi, Bukan Spekulasi Sektor Finansial




Kekritisan Prasetyantoko
Oleh : Maria Hartiningsih & Orin Basuki
Banyak temannya bertanya mengapa ia mau berbicara di forum organisasi nonpemerintah yang anti-Bank Pembangunan Asia atau ADB. Dr A Prasetyantoko (35) menjawab, ”Saya setuju dengan misi teman-teman yang anti-ADB karena ’software’ ADB adalah ’software’ institusi keuangan pada umumnya yang basisnya proyek.”
”Kalau kita mau melakukan counter terhadap lembaga keuangan multilateral, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, peran ADB penting karena bisa menyatukan regional kita,” kata Prasetyantoko yang ditemui di Bali dan Jakarta, pekan lalu.
”Dilemanya, justru ADB adalah bagian dari mereka. Jadi, kenapa mereka ngotot menyalurkan uang, ya karena ini bisnis mereka, seperti Bank Dunia dan IMF juga.”
Bank regional, seperti ADB, diibaratkan komputer. ”Kita membutuhkan komputer, software-nya harus diganti,” lanjut dia.
Karena itu, reformasi ADB merupakan agenda mendesak. Cuma, seperti dikatakannya, ”Kalau melihat konstelasi sekarang, reformasi dari dalam tak akan mungkin.”
Bank regional seperti apa yang dibutuhkan?
Institusi keuangan regional, tetapi dengan cara pandang yang sama sekali lain. Amerika Latin punya bank regional, Banco del Sur, Bank dari Selatan, diluncurkan tahun 2006, sebagai tandingan dari IMF dan Bank Dunia.
Bank itu akan bertahan di tengah arus besar saat ini, dengan syarat, negara-negara yang mendukung keberadaan bank itu punya standpoint sama. Standpoint negara-negara Amerika Latin terhadap AS dan lembaga-lembaga keuangan multilateral sangat jelas. Prasyarat itu tampaknya tak ada di sini. Tidak ada kepemimpinan politik di Asia.
Sangat berisiko
Menurut Prasetyantoko, kesepakatan ADB yang diambil di Bali mengandung risiko luar biasa karena seluruh pembicaraan intinya stimulus. Ada program countercyclical support fund, trade financing, dan peningkatan pinjaman utang. Artinya, akan semakin banyak uang menggelontor di pasar Asia. Dengan begitu, diandaikan ekonomi akan pulih.
”ADB terjebak pada agenda Amerika yang mengandaikan ekonomi akan pulih dengan memperbesar stimulus. Yang pulih mereka. Kita masuk ke jebakan berikutnya. Yang paling berbahaya adalah jebakan surat utang,” kata dia.
Bisa dijelaskan?
Saat ini stimulus-stimulus dianggap sebagai jalan keluar. Risikonya, APBN semua negara akan mengalami defisit fiskal. Untuk menutupnya yang paling mungkin dari state bond. Surat utang negara. Kalau semua itu keluar di pasar, pasarnya crowded. Kalau crowded, yang paling menderita adalah negara-negara yang country risk-nya tinggi.
Dalam peta pasar surat utang global, country risk di kawasan Asia mempunyai tingkat risiko relatif tinggi. Indonesia bersama Vietnam dan Filipina termasuk yang paling tinggi. Salah satu sebabnya karena tingkat inflasinya tinggi. Kalau terjadi gejolak di bond market, kita akan menjadi korban pertama. Dampak konkretnya, akan ada pelarian modal asing dari instrumen obligasi kita ke luar negeri sehingga rupiah tertekan. Untuk mempertahankan agar investor masih tertarik, suku bunga harus dinaikkan. Berarti beban pada anggaran akan meningkat.
Rasio (total) utang kita memang hanya 30 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara negara maju, seperti AS, rasio utangnya 90-an persen terhadap PDB, tetapi country risk mereka rendah. Dalam kondisi krisis saja masih ada investasi masuk, sementara kita dalam kondisi baik pun suku bunga obligasinya tetap tinggi. Ini menunjukkan investor yang memegang surat utang kita harus dikasih kompensasi besar sekali, sementara di AS hanya 2 persen.
Jangan terbuai
Rasio utang luar negeri Indonesia sekarang yang di bawah 20 persen dari PDB, sementara total utang (termasuk utang dalam negeri) sekitar 30 persen PDB, menurut Prasetyantoko, ”Secara teoretis angka ini dianggap dalam ’batas aman’. Karena itu, pemerintah merasa bisa dengan leluasa memperbesar jumlah utang, baik lewat mekanisme bilateral maupun penerbitan obligasi dan surat utang negara yang bunganya sangat tinggi.”
Tetapi, diingatkan, jika terjadi gejolak dan krisis, perilaku aktor ekonomi tidak rasional lagi. Mereka akan berspekulasi, baik untuk mendapatkan keuntungan maupun untuk menyelamatkan diri. Salah satu yang berpotensi akan menjadi ajang spekulasi adalah pasar surat utang (bond market).
”ADB meyakini, kawasan Asia saat ini merupakan kawasan yang aman dari spekulasi pasar surat utang. Karena itu, salah satu hasil dari pertemuan ADB kemarin adalah meningkatkan Asian Bond Market Initiatives (ABMI), dan ADB menjadi penjamin penerbitan obligasi,” lanjut dia.
Kondisi terburuk apa yang mungkin terjadi pada perekonomian kita akibat krisis global dan langkah apa yang perlu dilakukan agar itu tak terjadi?
Global bubble bond adalah kondisi terburuk. Kita harus menghindarinya agar tak masuk ke jebakan surat utang. Strategi keluar dari krisis dengan mengandalkan utang dan menerbitkan surat utang itu ibarat keluar dari mulut macan masuk ke mulut buaya.
Inisiatif ADB memperbesar surat utang harus dikaji agar jangan sampai menimbulkan gelembung surat utang di kawasan Asia. Kalau itu terjadi, krisis finansial berikutnya kemungkinan akan berpusat di Asia. Kalau krisis 2007/2008 yang kolaps adalah neraca bank dan perusahaan investasi, bisa jadi pada krisis berikut yang kolaps adalah neraca pemerintah karena terlalu terbebani surat utang akibat defisit anggaran yang digunakan untuk stimulus fiskal.
Jadi, jangan terbuai pada pernyataan bahwa kita ”baik- baik” saja dan paling mild terkena dampak krisis. Singapura akan minus 10 persen tahun ini, kita masih tumbuh 3 persen, bahkan mungkin 4 persen. Tetapi, persis itu yang menunjukkan negara kita tak terlalu terpapar oleh dinamika global. Ekspor kita kecil, sektor pasar uang kita juga belum berkembang baik. Tetapi, ke depan kita bisa menghadapi risiko paling tinggi di antara negara-negara Asia lain. Teknokrat Indonesia seharusnya menyadari kondisi ini.
Kembali ke prinsip dasar
”Saya menganut pendekatan ekonomi heterodoks atau mengambil sikap kritis terhadap pandangan ortodoksi dalam ilmu ekonomi yang sangat mekanistis,” ujar Prasetyantoko.
Pandangan ortodoks meyakini pasar adalah cara paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya, dan sumber daya kapital diyakini bersifat netral. ”Terhadap dua prinsip dasar ini, saya sangat kritis. Dari situlah asal-muasal kenapa krisis selalu terjadi, hanya berpindah tempat dari satu kawasan ke kawasan lain, dari satu pemicu ke pemicu lainnya….”
Bagaimana agar krisis tak selalu berulang?
Yang diperlukan, perubahan paradigma. Pertanyaan mendasarnya, mengapa krisis selalu balik lagi. Ada dua agenda yang muncul di sidang G-20. Agenda AS mengatakan, obatnya stimulus. Agenda Eropa mengatakan, problemnya adalah regulasi sektor finansial. ADB bahkan tidak berbicara sedikit pun soal regulasi sektor finansial.
Kita masuk di jebakan pertama. Teknokrat Indonesia adalah bagian dari cara pandang lembaga multilateral seperti ADB. Mereka meyakini, satu-satunya cara menggerakkan ekonomi adalah dengan menyuntik modal. Jadi, mereka sudah merasa melakukan yang terbaik ketika bisa menambah dana stimulus, bisa memberi cash transfer kepada orang miskin (dalam bentuk bantuan langsung tunai/BLT). Mereka tidak bergerak dari pakem ini.
Padahal, yang dibutuhkan tak selalu uang. Kemiskinan sebenarnya bisa diselesaikan dengan sumber daya lokal, salah satunya mengandalkan ikatan sosial di antara mereka. Para ahli ilmu sosial mengatakan, penetrasi kapital justru merusak ikatan sosial mereka. Contoh paling jelas, orang sampai meninggal karena desak-desakan hanya untuk dapat Rp 20.000. Tetapi, para teknokrat tak bisa melihat itu sebagai realitas. Bagi mereka, kemiskinan adalah persoalan kapital, maka pengentasan masyarakat dari kemiskinan adalah tambahan modal untuk ”program-program” pengentasan masyarakat dari kemiskinan, yang akhirnya jatuh pada ”proyek-proyek”.
ADB (bersama Bank Dunia) adalah salah satu lembaga yang katanya punya perhatian pada masalah kemiskinan dan ketimpangan. Kenyataannya, masalah kemiskinan dan ketimpangan lebih parah meski dalam skala kecil. Secara keseluruhan (agregat) memang angka kemiskinan menurun, tetapi sejumlah kecil yang kemiskinannya tambah parah dianggap sebagai ”residu” atau risiko alamiah. IMF lebih parah lagi. Lembaga itu didirikan untuk mencegah krisis, tetapi secara keseluruhan pola kebijakannya justru bersifat pro-siklus, artinya mendorong risiko krisis menjadi semakin besar.
Apa solusi yang Anda tawarkan?
Kembali ke prinsip dasar ekonomi, yang namanya ekonomi adalah proses produksi menghasilkan barang dan jasa guna menyejahterakan semakin banyak orang, bukan spekulasi sektor finansial, pasar uang, pasar utang, dan pasar saham. Sektor finansial harus dikembalikan pada fungsi dasarnya, yaitu menopang usaha ekonomi produktif, bukan memodifikasi diri menjadi instrumen canggih atau produk derivatif yang pada akhirnya penuh dengan spekulasi dan manipulasi.[] Kompas, 10/05/2009

No comments: